Minggu, 29 Januari 2012

TAMAN SISWA DISUMATERA TIMUR


TAMANSISWA  
DI SUMATERA TIMUR 1925-1942
Oleh
 M.T.Sihite
         
ABSTRAK
Penelitian ini  untuk  mengetahui pengaruh  Kebangkitan Nasional 1908 dan  berdirinya Tamansiswa di  berikut peranannya  dibidang pendidikan di Sumatera Timur 1925-1942 , untuk mengetahui dampak berdirinya Tamansiswa dibidang pendidikan pada masa penjajahan Belanda di Sumatera Timur 1925-1942. Pengumpulan data dilakukan kajian kepustakaan (library research) dan kajian lapangan (field research).
    Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa,  pembentukan taman siswa bertujuan untuk mencetak anak-anak pribumi  menjadi  pegawai  di perusahaan al asing .Pada masa penjajahan Belanda di Sumatera Timur 1925-1942, Tamansiswa memiliki peranan sebagai printis kemerdekaan dengan mengembangkan kegiatan pendidikan kepada warga masyarakat dan mendidik budi pekerti anak. Pendirian dan pelaksanaan Tamansiswa pada masa penjajahan Belanda di Sumatera Timur bersama dengan segenap pergerakan kemerdekaan rakyat lainnya berjuang untuk mencapai kemerdekaan bangsa.

Kata kunci ; Taman Siswa , Sumatera Timur   


*Pengajar Jur.Pend.Sejarah FIS UNIMED

PENDAHULUAN   .
Dalam sejarah Indonesia, yang disebut dengan periode Sejarah Pergerakan berlangsung antara 1908 hingga 1942,  dimulai sejak pembentukan organisasi Budi Utomo hingga dimulainya Perang Asia Pasifik. Pada awal periode ini, kaum pergerakan berjuang dan bertindak sebagai perintis kemerdekaan bangsa Indonesia. Perjuangan non-fisik digelar berbagai organisasi antara lain Budi Utomo, Sarekat Islam, Indische Partij, Muhammadiyah, Gerakan Pemuda, Gwerakan Serikat Pekerja dan lain .Pringgodigdo mengklassifikasikan pergerakan kemerdekaan Indonesia atas lima satu diantaranya adalah bergerak dibidang pendidikan nasional yang pengejawantahannya ada pada Tamansiswa. Tamansiswa dipelopori oleh Suwardi Suryaningrata tanggal 22 Juli 1922 di Yogyakarta.            .
Tamansiswa bersama dengan segenap pergerakan kemerdekaan rakyat lainnya berjuang untuk mencapai kemerdekaan bangsa, Tamansiswa dijadikan sebagai tempat untuk menyiapkan tenaga perjuangan kemerdekaan melawan penjajah dan sebagai tenaga-tenaga pembela, penegak, pembina, dan pengisi kemerdekaan Indonesia, khususnya di Sumatera Timur.
Pengadaan sekolah-sekolah adalah merupakan keniscayaan untuk memajukan anak bangsa menuju kemandirian . Peranan Taman Siswa dalam memajukan anak bangsa melalui kemandirian adalah merupakan bentuk baru dalam perlawanan menuju kemerdekaan .Sekolah-sekolah yang didirikan menjadi kawah candradimuka dalam membentuk kepribadian anak bangsa. Taman Siswa mengalami perkembangan yang menjanjikan sehingga mampu membuka cabang-cabangnya di luar P.Jawa Adanya perkembangan Tamansiswa ini, menimbulkan kekhawatiran  Pemerintah Hindia-Belanda sehingga pada tahun 1932 Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang untuk Sekolah Swasta (Onderiwijs Ordonantie/ OO). Undang-Undang ini melarang sekolah swasta beroperasi bila tanpa izin dari pemerintah Belanda. Sekolah harus menggunakan kurikulum dari pemerintah, dan gurunya pun harus berasal dari tamatan sekolah pemerintah Hindia-Belanda. Jika Undang-Undang sekolah swasta  ini dilaksanakan, maka Perguruan Tamansiswa akan tutup. Hal ini disebabkan karena sekolah Tamansiswa merupakan sekolah swasta yang bersifat kebangsaan.
Keadaan pendidikan di Sumatera Timur awal abad XX , dapat diidentifikasi dengan berdirinya Taman Siswa ,bagaimana peranannya dalam pergerakan kebangsaan serta dampak apa yang ditimbulkannya merupakan kajian pokok dalam tulisan ini Berbagai data dihimpun untuk mendapatkan bahan analisis dalam tulisan ini, data-data yang dihimpun dari dokumen merupakan data pokok(Helius;2007;78) .Untuk mengurai persoalan ini dilakukan  dengan pendekatan deskriptif kwalitatif‘(Alamsyah;2007;21). Data-data dikumpulkan kemudian diverifikasi dan dikelompokkan berdasarkan kriteria keperluan penulisan ini (Notosusanto;1982;87), kemudian diinterpretasikan dalam bentuk laporan tertulis.

B Pembahasan
Salah satu gagasan  politik ethis yang dikembangkan oleh Gubernur Jenderal AWF Idenburg (Menteri Urusan Daerah-daerah Jajahan (1902-5, 1908-9, 1918-9 di Indonesia) adalah membuka dan mengembangkan kesempatan pendidikan (educatie). Realisasi kegiatan ini mulanya dilaksankan di P,Jawa dan mendapat sambutan positip dari masyarakat dengan memasuki sekolah-sekolah yang dibentuk . Berangkat dari pengalaman ini  maka Taman Siswa memperluas jangkauan pendidikannya keluar Jawa dan yang jadi pilihyan adalah Sumatera Timur . Penentuan Sumatera Timur sebagai wilayah pengembangan kegiatan pendidikan tidak lepas dari keberadaan perkebunan yang pekerjanya banyak berasal dari P.Jawa. Masyarakat Sumatera Timur  berkesempatan menikmati pendidikan walaupun dalam tingkat yang masih relatif rendah bila dibandingkan dengan jenjang pendidikan yang diterima oleh orang-orang Belanda.  Notosusanto (1975: 186) menyatakan bahwa:
“Pada abad ke-20 terdapat tiga jenis sekolah dasar, yaitu: a. ELS (Europaedche Lagere School). Sekolah ini diperuntukkan anak-anak Belanda. b. Sekolah Angka I, yang kemudian disebut Holland Inlandsche School, dan c. Sekolah Angka II , atau Sekolah Angka Loro”.
Secara faktual sekolah-sekolah pada masa Penjajahan Belanda di Sumatera Timur terdiri dari ELS (Europaedche Lagere School) merupakan  sekolah untuk golongan  atas yaitu Eropa seperti orang-orang Belanda; HIS (Holland Inlandsche School)  sekolah untuk golongan menengah yaitu orang Timur asing seperti Cina dan India; dan Sekolah Kelas II atau Volkschool adalah sekolah untuk golongan pribumi yaitu untuk anak rakyat Sumatera Timur, untuk golongan pribumi ini bahasa Belanda tidak diajarkan.
Tamansiswa berdiri di Sumatera Timur pada masa rakyat bergerak menuju kemerdekaan bangsa Indonesia yaitu  20 tahun sebelum Kemerdekaan sa Indonesia. Tamansiswa merupakan wadah perjuangan yang berjiwa nasional. Jika ditinjau dari tujuan pendidikannya Tamansiswa adalah untuk menciptakan manusia yang merdeka jiwanya, merdeka batinnya dan menciptakan anak bangsa yang dapat mengabdikan hidupnnya pada bangsa dan negara Indonesia, dan Sumatera Timur khususnya. ,Pada masa kejayaannya, Tamansiswa pernah menjadi pusat keunggulan yang berkembang dan tumbuh dengan pesat di Jawa dan Sumatera Timur, sehingga membuat Belanda harus mengeluarkan ordonansi sekolah liar (wilde schoolen ordonantie) pada Tamansiswa ini  . Jumlah cabang Perguruan Tamansiswa untuk wilayah Sumatera Timur tahun 1925-1938 ada enam(6) cabang Peruruan Tamansiswa(Surjomiharjo;1986;128)diantaranya adalah Taman Siswa cabang Galang didirikan15 Agustus, Tebing Tinggi 1 juli 928, Kisaran 1 Juli 1930, Pematang Siantar 3 Juli 1932, Lubuk Pakam 7 Mei 1935 dan Padangsidempuan 3 Juli 1935.
Dari banyaknya cabang-cabang tersebut dapat dipahami bahwa Taman Siswa secara kelembagaan berkembang dengan baik sehingga menimbulkan berbagai persoalan bagi pemerintah Belanda yang memaksa Pemerintah mengeluarkan peraturan yang ketat agar gerak maju lembaga pendidikan terhambat , berbagai macam rintangan diciptakan oleh pemerintah kolonial seperti yang diungkapkan  Suratman;2010;167)
“Tamansiswa semasa penjajahan Belanda mendapat banyak rintangan, diantaranya: Pada tahun 1924, dikenakan pajak rumah tangga atas barang-barang milik Tamansiswa; Pada tanggal 17 September 1932, Taman Siswa terkena ordonansi sekolah liar, maksudnya: Sekolah partikelir harus meminta izin terlebih dahulu. Guru-guru sebelum mengajar/ memberi pelajaran harus mempuyai izin mengajar. Isi pelajaran tidak boleh melanggar peraturan negeri dan harus sesuai dengan sekolah negeri; Adanya larang¬¬¬an mengajar pada tahun 1934; Mengenai tunjangan anak harus dihilangkan, bagi pegawai negeri yang memasukkan anaknya ke sekolah swasta seperti Tamansiswa; Adanya pajak upah di tahun 1935-1940 terhadap guru-guru sekolah swasta, terutama bagi guru-guru Tamansiswa”.

Rintangan yang dialami Tamansiswa pada masa Penjajahan Belanda  berupa pemungutan pajak sekolah, undang-undang sekolah swasta,  larangan mengajar, Pelarangan dalam bentuk undang-undang ini mendapat tanggapan negatif dari pihak Perguruan Tamansiswa. Dengan usaha dan kerja keras Tamansiswa, Undang-undang tersebut pun akhirnya dicabut  Pemerintah Kolonial pada tahun 1934.Menjelang abad ke-20 pendidikan dan pengajaran secara Barat mempunyai arti yang sangat penting. Melalui saluran ini orang dapat memperoleh penghidupan yang lebih baik, kedudukan dan prestasi. Pendidikan melalui sekolah sebagai sarananya dibuka untuk kepentingan mencetak pegawai-pegawai yang berpendidikan Barat baik untuk Pemerintah Hindia-Belanda, kantor-kantor dagang maupun cabang-cabang perusahaan lainnya”.

Pendidikan diberikan untuk menyiapkan rasa kebebasan dan tanggung jawab, agar anak-anak berkembang merdeka dan menjadi orang yang serasi, terikat erat dengan milik kebudayaan sendiri dan dengan demikian terhindar dari pengaruh yang tidak baik dan tekanan hubungan kolonial, seperti umpamanya rasa rendah diri, ketakutan, kebencian, keseganan dan tiruan yang membuta(Dewantara;1952;45). Selain itu anak didik untuk menjadi putra tanah air yang setia dan semangat, dan dengan patriotisme Indonesia memiliki rasa pengabdian tinggi bagi nusa dan bangsa.
Tujuan untuk mewujudkan tenaga terampil dari anak rakyat pribumi di Sumatera Timur , setelah anak memperoleh pengetahuan dapat membaca, menulis dan berhitung , maka setelah  tamat  akan dipekerjakan di strata  paling rendah di dalam perusahaan Pemerintah Kolonial-Belanda(Breman;1997;203). Mereka  dipekerjakan sebagai juru tulis  krani-krani pada kantor-kantor Gubernemen (Pemerintahan) dan di kantor perusahaan partikelir kaum pemilik modal asing  bangsa Cina di Sumatera Timur.
Sekolah-sekolah yang berdiri pada zaman penjajahan Belanda di Sumatera Timur terdiri dari sekolah negeri maupun sekolah swasta. Sekolah negeri tersebut berasal dari sekolah Delische School (Deli) maupun Asahansche School (Asahan). Awalnya, adalah Delische School ataupun Asahansche School, kemudian dijadikan sebagai sekolah-sekolah umum, yang disebut dengan Hollandsch-Inlandsch School (HIS). Di Sumatera Timur, sekolah-sekolah ini terdapat di Medan, Tanjungpura, Binjai, Pematang Siantar, Perbaungan, dan  Tanjung Balai. Mengenai sekolah swasta yang berdiri pada masa Penjajahan Belanda di Sumatera Timur adalah Tamansiswa.
Di Sumatera Timur, pendirian sekolah-sekolah tersebut dimulai dari kota-kota besar (ibukota residentie), ibukota-ibukota afdeling, kemudian di tempat-tempat yang lebih rendah kedudukan controleur (onderafdeeling). Sekolah-sekolah dibangun di perkebunan Sumatera Timur. Pembangunan sekolah di perkebunan bertujuan agar pendidikan dapat dinikmati oleh rakyat perkebunan itu sendiri. Agar mereka tidak perlu pergi ke sekolah daerah perkotataan. Yaitu ditempuh dalam waktu lama. Sehingga pendirian sekolah perkebunan ini dianggap Pemerintah Kolonial sebagai pertolongan sosial bagi rakyat perkebunan Sumatera Timur.   Kemudian, Djawatan Penerangan Provinsi Sumatera Utara (1953: 743) menyatakan bahwa:
“Di perkebunan-perkebunan di Sumatera Timur, sekolah-sekolah desa didirikan oleh perkebunan-perkebunan itu sendiri untuk anak-anak                                              buruhnya, jang dianggap sebagai suatu pertolongan sosial, sebab buruh jang beribu-ribu itu tinggalnja terasing dan djauh-djauh dari kota dan tempat-tempat jang mempunjai rumah sekolah gubernemen. Sebahagian besar pula dari sekolah-sekolah perkebunan itu mendapat bantuan subsidi dari gubernemen”.

Pemerintah Kolonial-Belanda  mendirikan sekolah di daerah perkebunan.  pembangunan ini dianggap sebagai pertolongan sosial bagi buruh di Sumatera Timur.setelah tamat (telah menyelesaikan sekolahnya), dipekerjakan di perusahaan milik bangsa Eropa . sebagai buruh rendah perusahaan tersebut. , tujuan pemerintah kolonial Belanda mendirikan sekolah-sekolah di Sumatera Timur  untuk  memenuhi kepentingan Pemerintah Kolonial semata. .Pemerintah menyediakan peralatan sekolah seperti ATK , bebas iyuran . Untuk kepentingan ini maka didirikanlah sekolah guru di Padang Sidempuani alumni sekolah ini menjadi pelopor  kependidikan dan menggalan pembangunan sekolah-sekolah swasta yang berdasarkan atas Asas Kebangsaan. Diantaranya adalah Sekolah  Tamansiswa.

Berdirinya Tamansiswa di Sumatera Timur
Sejatinya pemerintah Belanda tidak dapat memnuhi  ketersediaan tenaga kerja di perusahaan-perusahaan yang dikelolanya, ketersediaan tenaga kerja mau tidak mau harus diambil dari wrga pribumi yang terdidik .Persoalannya warga yang terdidik sangat sedikit bahkan untuk kemampuan menulis dan bacapun . sangat kurang . Untuk itu didirikanlah sekolah-sekolah agar dapat mengisi kekosongan yang dimaksud.
“Asal mula maksud dan tujuan pemerintah Kolonial Hindia-Belanda dahulu mendirikan sekolah-sekolah di tanah air kita ini, khususnya di Sumatera Utara, yang dimulainya dengan mendirikan sekolah-sekolah berderadjat pengetahuan jang minimal itu, jaitu dikota-kota besar (ibukota residentie), berangsur-angsur kemudian di ibukota-ibukota afdeling, seterusnja di tempat-tempat jang lebih rendah kedudukan controleur (onderafdeeling) dan di tempat-tempat jang lebih rendah kedudukannja”(Djawatan Penerangan Provinsi Sumatera Utara;1953;741).

Tujuan pihak berkuasa diwaktu itu mendirikan sekolah-sekolah itu terutama untuk keperluan dan kepentingannya, maka kepada murid-murid tiada dikenakan pemungutan uang sekolah. Buku-buku dan alat-alat pelajaran diberikan dengan cuma-cuma. Baru setelah rakyat mengerti dan sedar paedah sekolah, uang sekolah dipungut, kecuali dari murid-murid, jang orang tuanya tiada mampu atau masuk golongan orang miskin.
Djawatan Penerangan Provinsi Sumatera Utara (1953: 742) menyatakan bahwa: “Selain di sekolah Kelas II, ada lagi jang dinamai ,,Sekolah Desa” (Volksschool) dengan sedjarah pertumbuhannja jang tersendiri pula”.
“Di perkebunan-perkebunan di Sumatera Timur, sekolah-sekolah desa didirikan oleh perkebunan-perkebunan itu sendiri untuk anak-anak buruhnya, jang dianggap sebagai suatu pertolongan sosial, sebab buruh jang beribu-ribu itu tinggalnja terasing dan djauh-djauh dari kota dan tempat-tempat jang mempunjai rumah sekolah gubernemen. Sebahagian besar pula dari sekolah-sekolah perkebunan itu mendapat bantuan subsidi dari gubernemen.

Pemerintah juga mendirikan sekolah rakyat yang diadakan di wilayah perkebunan. Kemudian selanjutnya Djawatan Penerangan Provinsi Sumatera Utara (1953: 744) menyatakan lagi bahwa:
“Sampai pada masanja pemerintah Hindia-Belanda membutuhkan tenaga-tenaga yang lebih tjerdas, jang dapat mendjalankan pekerdjaan yang memerlukan bahasa Belanda serta dapat pula menggantikan tenaga-tenaga bangsa Belanda seperti dalam djabatan klerk dan lain-lain, maka barulah dibuka sekolah yang mengadjarkan bahasa Belanda atau dengan sekaligus memakai bahasa Belanda itu sebagai bahasa pengantar. Sekolah ini pada mulanya diuntukkan khusus bagi anak-anak dari lingkungan yang terpandang sadja, terutama dari sudut kepegawaian Negeri atau orang-orang tuanja mampu benar”.

Dari uraian diatas, karena syarat yang pendidikan demikian itu yaitu diutamakan bagia anak-anak kaum bangsawan, maka hanya sedikitlah anak-anak yang dapat turut pada sekolah-sekolah yang berbahasa Belanda itu. Di Sumatera Timur sekolah-sekolah seperti itu dinamai pada mulanya menurut nama wilayah tempat sekolah itu, seperti Delische School, dan Asahansche School terdapat sekolah-sekolah untuk anak rakyat.  Walaupun pendidikan bahasa Belanda sudah diajarkan yaitu sekolah HIS. Di Sekolah HIS ini anak yang dapat bersekolah masih dalam skala kecil karena di sekolah ini tidak diperuntukkan untuk anak rakyat umumnya. Di sekolah HIS ini hanya diperbolehkan untuk anak rakyat yang tergolong kaum bangsawan.
“Sjarat-sjarat jang diatur sengadjalah djua terasa membatasi djalan kemadjuan dan kedjerdasan bangsa kita.
Disinilah pula timbulnja suatu panggilan kesadaran kebangsaan jang dirasakan semakin deras dikalangan para pemimpin kita dilapangan pendidikan dan pengadjaran bagi rakjat”(Djawatan Penerangan Prov.Sumatera Utara;1953;744).

        Mansyarakat  Sumatera Timur  tetap perduli terhadap pendidikan anak rakyat pribumi. pendidikan adalah  cara  untuk mencerdaskan dan memajukan kehidupan rakyat di Sumatera Timur. Bagaimana pun keadaannya, pendidikan harus tetap dijalankan sehingga tercipta jiwa anak rakyat  yang dapat berjuang melawan Penjajahan Belanda di SumateraTimur. Untuk itu dibangunlah sekolah-sekolah di tanah air khususnya Sumatera timur. diantaranya adalah dengan mendirikan sekolah Tamansiswa.
Tamansiswa di Sumatera Timur lahir sebagai sekolah yang bersifat kebangsaan, berusaha mendidik dan memberikan latihan susila agar anak rakyat tumbuh menjadi bangsa yang berbudi pekerti baik, cerdas dan berwibawa dengan dasar kebangsaan.  Djawatan Penerangan Provinsi Sumatera Utara (1953: 744), dinyatakan bahwa:“Organisasi-organisasi rakjat lantas bergerak, berusaha memperluas pendidikan dan pegadjaran jang di-batasi-batasi oleh pihak berkuasa itu. Diantaranya timbullah perguruan-perguruan Tamansiswa.                                                                                                             
Sesuai dengan pernyataan dari Djawatan Penerangan Provinsi Sumatera Utara (1953: 745), bahwa:
“Sekolah-sekolah partikelir itu pulalah jang boleh diumpamakan sebagai bengkel tempat memperbaiki, menjepuh dan mengasah kembali otak anak-anak jang dikeluarkan dari sekolah-sekolah gubernemen itu, sehingga akhirnya dapat djua berhasil dengan peladjarannja. Ada sebagian, jang dapat meneruskan peladjarannja, selainnja  mendjadi anggota masjarakat jang berguna, se-tidak-tidaknja sudah dibekali persediaan seperlunja”.    (Djawatan Penerangan Pem.Prov.Sumatera Utara;L953;745    )

Mengenai perkembangannya, Wiryono menyatakan bahwa “pada zaman Penjajahan Belanda, Tamansiswa di Sumatera Timur memiliki jumlah cabang terbanyak jika dibandingkan dengan cabang Tamansiswa di daerah lainnya. Taman Siswa pertama berdiri di Sumatera Timur adalah Tamansiswa cabang Galang oleh Ki M. Idris Satin. Tamansiswa ini didirikan bersamaan dengan masa pembentukan dan pengembangan perkebunan di Sumatera Timur yang dijalankan oleh pemilik modal asing”.

Dampak keberadaan Tamansiswa di Sumatera Timur
Tidak dapat dipungkiri bahwa  meluasnya kegiatan pendidikan Tamansiswa sehingga sampai ke Sumatera Timur telah menimbulkan pencerahan yang luar biasa, hal ini dapat diidentifikasi dari berkembangnya kegiatan kependidikan dengan berdirinya cabang-cabang Tamansiswa dipelbagai tempat di Sumatera Timur .Daftar Cabang Tamansiswa Se-Indonesia 1979 dari hasil registrasi ulang, diketahui bahwa Tamansiswa cabang Galang merupakan Tamansiswa pertama kali berdiri di Sumatera Timur. Tamansiswa ini disahkan menjadi cabang Tamansiswa pada tanggal 15 Agustus 1925, kemudian disusul dengan pendirian Tamansiswa Tebing Tinggi (1 Juli 1928) dan Kisaran (1 Juli 1930).
Menurut Wiryono bahwa “Tamansiswa  meluas di wilayah Sumatera Timur bersamaan dengan masa berdirinya perkebunan di Sumatera Timur. Tenaga kerja dalam perkebunan ini berasal dari tenaga rakyat yang berasal dari dalam dan luar Sumatera Timur. Sehingga, mengenai asal dari tenaga pengajar Tamansiswa ini dapat berasal dari alumni Perguruan Tamansiswa Sumatera Timur itu sendiri maupn yang didatangkan dari luar Sumatera Timur seperti dari Pulau Jawa tersebut.
Karena, Tamansiswa memilih jalur pendidikan dalam melawan Penjajah Belanda di Sumatera Timur, maka Tamansiswa bersama dengan segenap pergerakan kemerdekaan rakyat lainnya berjuang untuk mencapai kemerdekaan bangsa, menjadikan Tamansiswa sebagai tempat penyemaian untuk menyiapkan tenaga perjuangan kemerdekaan melawan penjajahan dan sebagai tenaga-tenaga pembela, penegak, pembina, dan pengisi kemerdekaan di Sumatera Timur.
Tingkat kesejahteraan dari Pamong Tamansiswa, Wiryono (dalam wawancara) menyatakan bahwa “Orang tua dari anak yang dididik di Tamansiswa akan memberikan tanda terimakasihnya kepada pengurus dan pamong Tamansiswa. Karena, anaknya telah dididik dengan baik oleh guru/ pamong-pamong sekolah tersebut berupa penyampaian ilmu bermanfaat dan didikan budi pekerti. Tanda terima kasih yang diberikan dapat berupa bentuk makanan pokok sehari-hari seperti beras”.
Pada zaman Penjajahan Belanda di Sumatera Timur, Tamansiswa selalu menolak kegiatan kerjasama bersama yang berhubungan dengan Pemerintahan Belanda. Karena, Tamansiswa tidak mau menerima subsidi yang datang dari pihak Pemerintah Belanda. Maka, Tamansiswa selalu mengusahakan untuk dapat menghidupi segala keperluan Perguruan dengan biaya anggota keluarga Tamansiswa itu sendiri. Untuk tetap dapat bertahan, maka Tamansiswa harus dapat menjalankan pola hidup sederhana.
Walaupun, pada masa perkembangannya Tamansiswa mendapat tekanan dari pihak Pemerintah Hindia-Belanda, maka pihak Perguruan Tamansiswa melakukan berbagai bentuk perlawanan terhadap diberlakukannya Undang-undang tersebut. Salah satu diantaranya adalah dengan menyerukan kepada pemimpin Perguruan  untuk melawan “OO” 1932 dengan tetap terus menjalankan kegiatan sekolah.(Kepusan;1996;37) Pamong yang telah ditangkap dan tidak diperbolehkan untuk mendidik anak karena tidak berijazah guru pemerintah secepatnya akan diganti dengan pamong lain. Keadaan ini berdasarkan dengan semboyan “ditangkap satu diganti seribu”. Perjuangan ini membuahkan  hasil, pada tahun 1934  undang-undang sekolah swasta tersebut akhirnya dicabut oleh Pemerintah Hindia-Belanda. cabang Perguruan Tamansiswa, Wiryono menyatakan bahwa “Perguruan Tamansiswa sebagai sekolah swasta di Sumatera Timur memiliki jumlah cabang lebih banyak jika dibanding dengan cabang Perguruan Tamansiswa di daerah lainnya”.
Perkembangan jumlah cabang Tamansiswa di Sumatera Timur ini menunjukkan bahwa Tamansiswa sebagai sekolah swasta yang berdasar atas  kebangsaan mampu bersaing dengan Sekolah Negeri maupun sekolah swasta lain  diSumateraTimur .Peranan Taman Siswa dalam pendidikan di Sumatera Timur merupakan indicator yang sangat signifikan  tentang perlawanannya terhadap colonial Belanda. Perjuangan dibidang pendidikan merupakan bentuk lain dari perlawanan non fisik  karena dengan pendidikan  pengenalan jati diri semakin kuat dan terarah.
“Bukan saja pintu sekolah dibukakan bagi anak-anak dari kalangan rakjat jang lebih luas, akan tetapipun djiwa pengadjaran jang diberikan adalah ditudjukan kepada membangun semangat kenal-diri sebagai bangsa jang akhirnja biasa berdiri sendiri dengan pertolongan sendiri”(Djawatan Penerangan Prov.Sumut;1953;745).

Tamansiswa memilih jalan usaha pendidikan nasional berdasarkan kebudayaan dan kepribadiaan bangsa untuk mendidik budi pekerti anak, atas kesadaran bahwa pendidikan adalah faktor penting untuk usaha ke arah mencerdaskan anak-rakyat Sumatera Timur, menanamkan serta menyebarkan benih jiwa hidup merdeka di kalangan rakyat, mewujudkan cita-cita kemerdekaan, dan kemanusiaan. Sehingga,dapat disimpulkan bahwa Tamansiswa pada masa

Kesimpulan
Tamansiswa memiliki peranan dalam merintis kemerdekaan bangsa melalui pendidikan budi pekerti anak dan menghasilkan individu-individu yang berpikiran cerdas, memiliki jiwa hidup  merdeka, serta membentuk jiwa tidak tertekan sehingga terhindar dari sikap rendah diri, ketakutan, tidak berani.
Pendirian dan pelaksanaan Tamansiswa di Sumatera Timur bersama dengan  pergerakan kemerdekaan rakyat lainnya berjuang untuk mencapai kemerdekaan bangsa. Tamansiswa dijadikan sebagai tempat menyiapkan tenaga perjuangan kemerdekaan melawan penjajah, tenaga pembela, penegak, pembina, dan sebagai pengisi kemerdekaan bangsa di Sumatera Timur. yang sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan  perguruan Tamansiswa di Sumatera Timur memiliki jumlah cabang Tamansiswa terbanyak jika dibandingkan dengan daerah lain di nusantara.Hal ini dapat menjadi indicator bahwa masyarakat di kawasan ini sangat antusias untuk mendukung pergerakan menuju Indonesia merdeka melalui ranah pendidikan. Pendidikan memang sejatinya adalah gerbang untuk mewujudkan perubahan
                                   
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Dudung, M. Hum, (1999), Metode Penelitian Sejarah, Logos Wacana Ilmu, Jakarta
Alamsyah, Nur M.Si., (2007), Buku Pedoman Penulisan Skripsi dan Proposal
Penelitian Mahasiswa Program Studi Penelitian Sejarah, Fakultas Ilmu
Sosial Universitas Negeri Medan, Medan
Breman, Yan, (1997), Menjinakkan Sang Kuli, PT Anem Kosong Anem, Jakarta
Dewantara, Ki Hadjar, (1952), Dari Kebangunan Nasional Sampai Proklamasi
Kemerdekaan, Ending Djakarta, Djakarta
Djawatan Penerangan Provinsi Sumatera Utara, (1953), Medan
Keputusan Kongres XVII Persatuan Tamansiswa, (1996), Piagam dan Peraturan
Besar Tamansiswa, Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, Yogyakarta
Notosusanto, Nugroho, (1975), Sejarah Nasional Indonesia, Departemen
Penidikan dan Kebudayaan, Jakarta
__________________, (1985), Mengerti Sejarah, Universitas Indonesia (UI
Press), Jakarta
Sjamsuddin, Helius, (2007), Metodologi Sejarah, Ombak, Yogyakarta
Soeratman, Darsiti, (1985), Ki Hajar Dewantara, Depdikbud, Jakarta
Surjomihardjo, Abdurrachman, (1986), Ki Hadjar Dewantara dan Tamansiswa dalam Sejarah Indonesia Modern, Sinar Harapan, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar