Minggu, 29 Januari 2012

KATA PENGANTAR

KATA PENGANTAR
PENGANTAR REDAKSI
Kajian sejarah sejatinya adalah telaah tentang perikehidupan manusia dari berbagai aspek untuk kemudian di “ jemput ” makna-makna yang bersinar darinya. Sebagai kajian tentang perikehidupan, maka banyaklah yang dapat kita torehkan untuk boleh dijadikan i’tibar.
Redaktur kali ini menurunkan beberapa artikel yang merupakan gagasan dari penulisnya agar dapat di implementasikan dalam dunia akademik maupun dunia sosial. Flores menorehkan tentang Ke Bhinekaan sebagai pilar Nasionalisme. Semangat nasionalisme pada era global ini memang sedang mendapat tantangan. Agar kita kuat dalam menghadapinya perlu penguatan intelekttualitas dari perspektif pendidikan. Oleh karena itu M. T. Sihite mencoba berhijrah ke masa lalu dengan menelusuri pendidikan Taman Siswa di Sumatera Timur. Pendidikan yang dibangun sejak zaman ke “ duluan (pinjam istilah Sujatmoko)” itu merupakan salah satu usaha anak negeri ini untuk membangun identitas. Cara lain adalah dengan membangun jaringan ekonomi politik. Agar identitas ke”diri”-an semakin kuat. Yushar menelusuri pembangunan jaringan ekonomi politik itu dalam perspektif historik lokal dengan menampilkan Pagurawan Batubara Abad 19. Aktifitas masyarakat lokal di perkuat dengan ulasan Richa – Lukitaningsih dalam tampilan budaya pra agama besar dari Deli Hulu. Ramuan ini semakin pariatif dengan tampilan bahasan Ponirin tentang penulisan sejarah yang masih berkutat dalam penguatan identitas antara nasionalisme dan Patriotisme. Tappil menuntaskan  degan penulisan sejarah kita yang masih bergantung pada gaya penulisan asing sehingga polemik ilmiah tentang kesejarahaan tetap menjadi wacana.
Redaktur kali ini menampilkan tulisan ini untuk sama-sama ditelaah menjadi pembelajaran bagi kita. Sekecil apapun ide-ide itu, ia tetaplah gagasan yang perlu ditindak lanjuti. Terima kasih Selamat Membaca

ISSN JASMERAH

ISSN : 0215-2096
JAS MERAH
Jurnal Pendidikan Sejarah


Pelindung:
Rektor Universitas Negeri Medan
Dekan Fakultas Ilmu Sosial
Pemimpin Redaksi :
Ketua Jurusan Pendidikan Sejarah
Wakil Pemimpin Redaksi
Drs. Yushar Tanjung, M. Si
Sekretaris Redaksi
Dra. Hafnita SD Lubis, M. Si
Dewan Redaksi:
Dr. Phil Ichwan Azhari, MS
Dr. Hidayat, M.Si
Dra. Flores Tanjung,M. A
Dra. Samsidar Tanjung, M. PdTappil Rambe, M. Si
Administrasi :
Sahrul Nizar Saragih M.A, M, Hum
Mhd. Taufik S, Pd
Alamat Redaksi :
Jurusan Pendidikan Sejarah
Fakultas Ilmu Sosiall
Universitas NEgeri Medan
Jl. Williem Iskandar, Psr. V, Medan Estate, Medan, 20221
Telp. (061) 6625973, 6613276
Fax: (061) 6614002

DAFTAR ISI

DAFTAR  ISI


Nilai-Nilai Ke-Bhineka Tunggal Ika-an Dalam Mewujudkan IntegrasI  ....... 1
Sebagai Pilar Nasionalisme di Indonesia                            
Oleh Flores Tanjung

Taman Siswa di Sumatera Timur 1925 – 1942   .............................................. 21
Oleh M. T. Sihite

Pagurawan Batubara Abad 19  ......................................................................... 37
Oleh Yushar      

Nasionalisme dan Patrotisme Canon Dalam Penulisan .................................. 3
Sejarah di Indonesia
Oleh Ponirin

Tinjauan History Gua Umang Sebagai Indikasi Tradisi Megalitik ……… 68
Di Tanah Karo
Oleh Richa Evriani Sembiring &. Lukitaningsih,

Paradigma Strukturistik dan Evolusionaris untuk Menjelaskan …………. 82
Sejarah: Tinjauan “Controling Water, Controling People”
Oleh Tappil Rambe

PARADIGMA STRUKTURISTIK DAN EVOLUSIONARIS SEJARAH



Paradigma Strukturistik dan Evolusionaris untuk Menjelaskan Sejarah:
Tinjauan “Controling Water, Controling People”

oleh
Tappil Rambe*


Abstraksi
Pembahasan tentang fungsi air sebagai sarana dan prasarana kehidupan masyarakat Nusantara tidak akan pernah kering . Berbagai pendekantan digunakan untuk menjelaskan kemamfaatan air dalam  kehidupan .Berbagai analisis dibangun untuk mendapatkan gambaran yang signifikan tentang  bagaimana masyarakat memamfaatkan air.Bahkan suprastruktuR(penguasa) yang membangun jaringan irigasi juga dilibatkan untuk ditelaah kemamfaatannya. Pengawasan terhadap penggunaan air juga menjadi satu telaah agar diperoleh gambaran yang lebih objektif bahawa sebenarnya segala yang berkaitan dengan kolonial tidak selamanya  menampilkan wajah sebagai kolonialisme,tetapi juga membawa suatu pencerahan dalam bidang lain dalam hal ini tehnologi
Kata kunci; Paradigma strukturasl,evolusinis controling water,kontroling people





*Pengajar Jur.Pend.Sejarah FIS UNIMED





Pendahuluan
Salah satu elemen pokok pendukung kelangsungan hidup manusia adalah air. k sebagai sumber minum, bagi manusia, air penting untuk mencuci, memasak, mandi, juga untuk kebutuhan ternak atau tanaman mereka. Begitu pentingnya air, sampai-sampai Thales, filsuf tertua Yunani, pun berpendirian bahwa apa saja yang ada tersusun dari air.
Jika ditelusuri salah satu yang  menarik dari tulisan Ravesijn ialah terminologi serangan peradaban dimana  orang Jawa tidak memiliki teknologi pengairan dan aatau kalaupun  punya sebenarnya tidak layak dikatakan sebagai teknologi. Analisis yang ditampilkan Ravestijn sangat “Barat” dan menafikkan kenyataan bahwa masyarakat Jawa memiliki kebiasaan gotong royong ,khusus terkait dengan air. Tidak hanya itu, dalam hierarki pemerintahan desa pun dikenal ada ulu-ulu, orang yang bertugas mengatur air. Selain menyiratkan ketidakpunyaan masyarakat Jawa akan teknologi pengairan, diksi ini juga mengesankan ada sesuatu yang ingin diperbaiki lewat pengairan, dimana teknologi pengairan sendiri merupakan salah satu bentuk modernisasi kala itu.
Teknologi pengairan yang menjiwai tulisan Ravestijn, mengandungi dua hal  utama yang menjadi perhatian , pertama  bias kolonial(isme) dalam penulisan sejarah, khususnya sejarah teknologi pada masa kolonial,  serta pendekatan yang digunakan untuk menjelaskan sejarah itu. Sehubungan dengan poin pertama, pernyataan Ravestijn tentang tema sejarah teknologi dalam penulisan sejarah kiranya tidak boleh dilewatkan. Bahwa penulisan sejarah selalu mengidentikkan kolonial dengan eksploitasi. Di satu sisi, tema sejarah teknologi tidak menarik. Kalaupun ada yang menulis selalu menitikberatkan pada aspek kolonialnya. Dalam arti-an, teknologi untuk mendukung ekspansi dan eksploitasi yang dilakukan oleh sang kolonial terhadap koloninya  . Ditarik ke masa sekarang, pernyataan dan penekanan Ravestijn soal ada tidaknya misi khusus di balik setiap kebijakan pemerintah kolonial serta pengidentikan kebijakan itu dengan eksploitasi mengingatkan  akan pernyataan Bambang soal historiografi Indonesia(sentris) yang masih sering terjebak pada determinasi kolonial (Bambang, 2007: 23). Keterjebakan itu, mengutip Bambang, tampak dari eksplanasi di sekitar historis kolonial sehingga menafikkan bukti-bukti empirik tentang adanya independensi kausalitas yang menempatkan sejarah sebagai sebuah proses yang sebenarnya terjadi di sekitar masyarakatnya. Padahal, tambahnya, sebagai sebuah proses historis sejarah pada masa kolonial tidak selalu identik dengan kekuatan kolonial karena sejarah yang terjadi merupakan hasil interrelasi berbagai elemen yang menjadi bagian dari proses sejarah waktu itu. Selain itu, tulis Bambang, kekuasaan kolonial pada prinsipnya hanya merupakan satu dari berbagai elemen yang menjadi bagian dari proses sejarah pada waktu itu (Bambang, 2007: 23).
Sementara itu, terkait dengan pendekatan, Ravestijn menyatakan bahwa pengairan merupakan konsekuensi antara teknologi dan konteks sosial. Dengan demikian, ia lebih menekankan pada konstruksi sosial sebagai pendekatannya. Dalam artian, ia melihat perkembangan teknologi sebagai sebuah variasi yang dipengaruhi oleh proses sosial dimana aktornya berpengaruh dan mencipta sistem teknis-sosial. Sehubungan dengan itu, ia fokus pada konteks sosial, pembentukan Hindia Belanda, serta posisi Hindia Belanda di tengah perekonomian dunia.
Selanjutnya dua hal utama yang ditekankan oleh Ravestijn memberikan dorongan untuk memikirkan lebih mendalam pendekatan yang bisa digunakan untuk menjelaskan sejarah teknologi. Baik pendekatan yang sifatnya mendukung atau mengkritisi pendekatan yang digunakan Ravestijn maupun pendekatan alternatif lainnya.  Sehubungan dengan hal itu, hal pertama yang saya lakukan ialah menyoroti substansi yang ditawarkannya.

Pembahasan
Mencermati pernyataan yang dipaparkan dalam tulisan Ravestijn tidak ada bedanya dengan tulisan tentang pengairan lainnya yakni masih mengidentikkan pengairan dengan irigasi atau agragria. Padahal, kalau ditelisik, pengairan tepatnya irisigasi sendiri pun juga berhubungan dengan masalah lainnya. Contohnya, irigasi di pertanian padi basah (baca: sawah) erat kaitannya dengan masalah ekonomi, kemasyarakatan, dan politik (Rudolf Mrazek, 2007: 78).
Memang, Ravestijn sudah mengulas ketiga hal tersebut. Ia mencontohkan di bidang ekonomi, sistem pengairan berimplikasi pada peningkatan ekspor gula dan produktivitas padi; di bidang politik, irigasi merupakan bagian dari politik etis dan menjadi pijakan pembentukan pemerintah kolonial Hindia Belanda; serta di bidang sosial atau kemasyarakatan sistem irigasi merupakan salah satu cara untuk mengatasi kelaparan. Tidak hanya itu, menurut Ravestijn, korelasi antara sistem pengairan dengan masalah sosial tampak dari pemberlakuan sistem baru di masyarakat; beberapa hal yang tadinya menjadi tanggungjawab dan ranah pegawai pangreh praja beralih ke para insinyur teknologi. Sayangnya, Ravestijn melupakan bahwa pengairan bahwa pengairan juga erat kaitannya dengan migrasi atau perpindahan penduduk, terutama perpindahan penduduk dari desa ke kota (baca: urbanisasi). Selain itu, Ravestijn juga melalaikan kemungkinan bahwa teknologi pengairan bisa memunculkan teknologi lainnya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ada tumpang tindih penggunaan diksi pengairan atau irigasi dalam tulisan Ravestijn. Acuannya bahwa pengairan merupakan pekerjaan yang bertalian dengan penyediaan air untuk pertanian dengan bendungan, bandar, terusan, dan sebagainya. Selain itu, berpegang pada definisi lainnya soal pengairan, yaitu proses, cara, atau perbuatan mengairi (KBBI jilid III).
Mencoba mengawinkan berbagai konsep tentang pengairan, langkah yang selanjutnya dilakukan ialah merunut (teknologi) pengairan. Tepatnya, (teknologi) pengairan ketika masa Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) dan abad XIX—termasuk masa tanam paksa dan perkebunan.
Memperbincangkan teknologi pengairan pada masa VOC hal yang kiranya menonjol ialah pembangunan sistem kanal. Pada masa itu, selain berfungsi untuk mengatur banjir, kanal juga berfungsi sebagai sarana transportasi. Terutama, sarana transportasi oleh pedagang Cina untuk bongkar muat dagangannya. Tentang fungsi kanal pada masa VOC dapat dibaca lebih jauh lagi dalam tulisan Susan Blackburn—selanjutnya ditulis Blackburn saja—Jakarta Sejarah 400 Tahun. Dalam Buku tersebut, dicatat oleh Blackburn bahwa Batavia merupakan wilayah yang mempunyai banyai banyak kanal. Salah satunya, kanal ditempat yang kini dikenal sebagai jalan Blandongan Selatan (dulu Bacharacht Gracht). Blackburn pun mencatat, pada masa VOC masyarakat beramai-ramai tinggal di tepi kanal. Alasannya, daerah kanal dipandang lebih nyaman dan lebih bergengsi. Ia menambahkan, perumahan yang dibangun masyarakat di tepi kanal sangat menyerupai perumahan di Belanda. Bangunannnya berlantai satu atau dua dengan dinding samping yang menempel dengan bangunnya di sebelahnya (Blackburn, 2011: 23). Begitu asrinya perumahan di sepanjang kanal, sampai-sampai di kala itu, Batavia pun berjuluk Ratu Timur (Blackburn, 2011: 22).
Sementara itu, berbicara tentang kemajuan yang dicapai dengan adanya teknologi pengairan berbentuk sistem kanal, Blackburn mencatat bahwa kanal tidak mampu menyelesaikan masalah drainase kota. Hal itu ditunjukkan dengan tingginya intensitas banjir. Banjir itu, kata Blackburn disebabkan oleh pendangkalan kanal akibat  air pasang yang membawa pasir dan menghambat aliran kali serta lumpur  dari daerah hulu. Beberapa usaha untuk menangani banjir sebenarnya sudah dilakukan—lagi-lagi tentang teknologi pengairan. Diantaranya, pengerukan oleh narapidana orang-orang Jawa yang direkrut dari pesisir—sayangnya, Blackburn tidak menjelaskan dari pesisir mana. Namun, usaha tersebut tidak terlalu berarti. Bahkan, Blackburn pun mencatat bahwa  pembersihannya sama mengganggunya. Lumpur hitam biasanya hanya dionggokkan begitu saja di tepi kanal. Akibatnya, terjadi pencemaran udara. Belum lagi, kotoran atau sampah yang tersangkut di kanal. Blackburn mencatat, “bahkan...kadangkala, bangkai babi atau kuda terdampar di kanal yang dangkal karena tidak ada yang ditugaskan untuk menyingkirkan, bangkai tersebut dibiarkan saja (Balckburn, 2011: 57). Akumulasi dari gagalnya sistem pengairan di Batavia pada masa VOC adalah berjangkitnya berbagai macam penyakit mematikan seperti disentri, tiphus, dan malaria yang diiringi dengan tingginya angka kematian(Blackburn, 2011; Leonard Blusse, 2004).
Seiring dengan kemunduran VOC, buruknya sistem pengairan di kanal, mendorong orang untuk pindah tempat tinggal mencari lingkungan yang menyehatkan, tidak tercemar bau kanal dan asap pekat penyulingan arak (Blackburn, 2011; Leonard Blusse, 2004; serta Jean Gelman Taylor, 2009). Meningkatnya kriteria masyarakat akan kesehatan, di satu sisi, diikuti pula dengan munculnya teknologi lain terkait dengan buruknya sistem pengairan. Diantaranya, orang mulai meniru kebiasaan orang cina menyeduh teh. Menggunakan air rebusan, menurut mereka, penting untuk menghindarkan mereka dari beberapa penyakit yang penularannya lewat air (Balckburn, 2011: 59). Selain itu, buruknya sistem pengairan, mendorong untuk mengaplikasi teknologi pembuatan es batu setelah sebelumnya mengimpor dari Boston. Es batu yang dicairkan merupakan sumber utama kebutuhan minum mereka (Siep Stuurman dan Maria Grever, 2007: 38-39).
Sementara itu, terkait dengan masa tanam paksa dan perkebunan swasta, teknologi pengairan erat kaitannya dengan modernisasi—sebenarnya, saya sendiri kurang setuju dengan penggunaan kosakata modernisasi karena proses tersebut lebih condong ke arah westernisasi. Berbicara tentang modernisasi sistem pengairan, kiranya ada dua titik tolak yang perlu kita cermati, yaitu pembangunan irigasi sebagai salah satu agenda Politik Etis serta kedudukan Hindia Belanda dalam ekonomi dunia. Terkait dengan hal yang kedua, fokus utamanya kiranya adalah industri gula pada awal abad XX yang sedang in di pasaran dunia sehingga mendorong pemerintah kolonial Hindia Belanda melakukan ekstensifikasi perkebunan tebu, terutama di pulau Jawa.
Sehubungan dengan ekstensifikasi perkebunan tebu, menarik kmeudian pertanyaan yang diajukan oleh Ravestijn; mengapa produksi padi juga turut meningkat? Menjawab pertanyaan tersebut, kiranya kita terlebih dahulu harus merunut karakteristik tanaman tebu serta pola penanaman yang dikembangkan kala itu. Dari penelusuran berbagai sumber, tebu ternyata sangat cocok di sawah dan membutuhkan banyak air.
Lebih lanjut, pernyataan Clifford Geertz dalam Agricultural Involution yang menjadi pijakan Ravestijn tidak kalah untuk dicermati. Geertz mengatakan bahwa penanaman tebu di sawah sangat cocok dikombinasikan dengan tebu. Sebab, menurut ilmu pertanian, tebu memerlukan lingkungan yang sama dengan padi. Dengan demikian, tampak bahwa pemerintah kolonial Hindia Belanda menggunakan kekuasaannya untuk memerintah rakyat di pedesaan untuk menyerahkan sepertiga tanahnya tanahnya kepada perusahaan-perusahaan gula dan menjalani kontrak selama 21 tahun.
      Lebih lanjut, Geertz menjelaskan bahwa proses tersebut sekaligus merupakan konsekuensi pemerintah Hindia Belanda untuk memanfaatkan struktur sosial-ekonomi pedesaan demi produksi tanaman perdagangan. Hal yang menarik, muncul persaingan irigasi dan tenaga kerja. Terkait dengan tenaga kerja ini, selain harus menyerahkan sebagian tanahnya, petani juga diharuskan bekerja tanpa upah. Hal yang demikian, kiranya merupakan akar bencana sosial di kalangan petani. Contohnya, bencana kelaparan. Di lain sisi, modernisasi atau westernisasi teknologi pengairan yang tidak dimbangi dengan pengetahuan juga mendatangkan bencana kematian bagi penduduk. Mas Marco Kartodikromo, dalam Doenia Bergerak, misalnya menulis kematian penduduk di musim kemarau bisa dimaklumi namun di musim hujan merupakan sebuah keganjilan. Terlebih, jumlah angka kematiannya justru jauh lebih tinggi dibandingkan musim kemarau. Ternyata, kata Marco, jawabannya cukup sederhana. Dalam usahanya membunuh baksil-baksil penyakit yang berjangkit pada musim kemarau, penguasa Belanda menebarkan pupuk buatan yang berisi asam belerang dan fostat berkonsentrasi tinggi di sekitar sumber air minum bersih. Akbibatnya, ketika musim hujan, bahan-bahan kimia itu masuk ke dalam sumur dan sungai-sungai sehingga membunuh lebih banyak orang daripada ketika musim kemarau (Mrazek, 2007: 81).
Selain modernisasi yang tidak diikuti dengan pengetahuan lainnya, munculnya teknologi pengairan juga menarik dipandang dari kacamata ekonomi. Diantaranya, teknologi pengairan mendorong munculnya pedagang air keliling serta berbagai pesta dan perayaan terkait dengan pembukaan suatu pengairan (Mrazek, 2007: 82). Terkait dengan munculnya fenomena pedagang air pikulan, pernyataan Tio Hek Hong—selanjutnya ditulis Hong saja— pengusaha piringan hitam pertama di Hindia Belanda, sangat menarik untuk disimak. Pada tahun 1882, kata Hong, “oleh karena belum ada air leiding, air dari sumur-sumur itu laku sekali. Pada umumnya, penduduk menampung air hujan untuk minum yang disimpan dalam tempayan-tempayan cina. Air sungai juga dijual oleh para pemikul. Harganya hanya beberapa sen setiap dua kaleng minyak tanah” (Heddy Shri Ahimsa-Putra, 1997: 57).
Dari uraian-uraian di atas, tampak bahwa bahwa ada beberapa hal yang terlewat dari penjelasan Ravestijn. Dalam beberapa hal, pendekatan konstruksi sosial atau struktural yang digunakannya untuk mengurai sejarah perkembangan teknologi dan korelasinya dengan pembentukan pemerintahan Hindia Belanda seolah menafikkan adanya peran individu atau kelompok. Memang, Ravestijn dalam paparannya menyinggung peranan para insinyur dalam proses perubahan di masyarakat. Akan tetapi penjelasan Ravestijn terlalu menekankan aspek kolonial. Peranannya tentang peranan masyarakat pribumi atau Cina hampir-hampir tidak disebut.
Sehubungan dengan hal itu, mencoba menjembatani antara struktur sosial dan kedudukan manusia sebagi penggerak sejarah disini akan coba dipaparkan bagaimana menggunakan paradigma strukturistik dalam memandang tulisan Ravestijn. Selain itu, penjelasan Ravestijn yang seolah terpotong-potong, menunjukkan kemungkinan untuk menjelaskan perubahan dengan paradigma evolusionaris.
Struktur-Agen
Dalam sejarah, suatu perubahan dapat dijelaskan dengan berbagai analisis. Akan tetapi, kompleksnya peristiwa yang menyebabkan perubahan membuat penjelasan tentang perubahan itu tidak akan cukup hanya dianalisis dengan satu dekripsi historis. Ilmu sejarah yang obyek formalnya adalah struktur masyarakat, perlu menggunakan ilmu sosial sebagai alat untuk mengalisis (Siep Stuurman dan Maria Grever, 2007: 310).
Akan tetapi, pendekatan struktural maupun fungsional, seperti termuat dalam tulisan Ravestijn, semata-mata hanya menekankan struktur masyarakat sebagai determinan dari tindakan setiap individu. Oleh karenanya, individu dianggap bukan hal yang penting untuk dipelajari secara khusus sehingga aspek orang atau aktor diabaikan. Sebaliknya, pendekatan hermeutik peranan individu sangat dominan dan masyarakat terabaikan. Menjembatani kedua hal di atas, paradigma strukturistik kiranya dapat difungsikan. Paradigma strukturistik merupakan sebuah paradigma yang bertumpu pada teori strukturasi Anthony Giddens—selanjutnya ditulis Giddens saja. Lebih jauh lagi, menurut Giddens, pendekatan strukturistik tidak semata-mata menekankan pada struktur saja atau individu saja, melainkan interaksi simbiosis antara struktur dan individu serta kegiatan masyarakat yang membentang luas dan berulang-ulang. Dalam pendekatan strukturistik, tambah Giddens, struktur dilihat sebagai perangkat aturan yang terlepas dari individu, tempat, dan waktu. Aturan tersebut terwujud dalam institusi yang tampak dalam tindakan manusia (Giddens dalam Siep Stuurman dan Maria Grever, 2007: 311; PIP Jones, 2009: 240).
Dengan demikian, sejarawan yang menggunakan paradigma strukturistik dalam menjelaskan sejarah (perubahan) menekankan peranan manusia sebagai agensi di dalam proses-proses penyustruktural sosial. Konsep agensi, mengutip Christopher Lloyd dalam The Structures of History, memiliki dua arti. Pertama, kekuatan otonomi relatif sebagai keseluruhan atau sebagian agen perubahan. Kedua, kekuatan orang untuk bertindak atas nama orang lain menurut aturan atau instruksi yang berupaya membawa hasil yang diinginkan (Susanto Zuhdi, 2008: 13; Priyanto Wibowo, 2008: 311). Selanjutnya, bagaimana menerapkan paradigma strukturistik untuk menjelaskan korelasi antara perkembangan teknologi dengan pembentukan pemerintah kolonial Hindia Belanda? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya mengambil dua contoh agen yakni petani dan insinyur. Terkait dengan petani, hal yang bisa dilihat adalah kemampuan para petani memperhitungkan kondisi-kondisi struktural di lingkungannya. Perubahan struktur dari tradisional ke tanam paksa lalu perkebunan diantaranya mendorong para petani untuk bisa memilih tanaman apa yang seharusnya mereka tanam. Dalam konsteks perkebunan tebu dengan sistem glebegan, mereka diharuskan memilih jenis tamanan apa yang semestinya mereka budidayakan sembari menyelingi masa tanam tebu. Lalu, teknologi pengairan pada masa perkebunan sekali lagi juga mendorong mereka untuk menyiasati penggiliran air di lahan mereka yang tidak ditanami tebu. Pilihan-pilihan itu selalu mengandung implikasi struktural.
Sebagai contoh, memilih tanaman padi bisa menimbulkan dampak berantai bagi petani itu sendiri, bagi pamong praja, pemilik perkebunan, dan pemerintah kolonial. Masa tanam padi selama tiga bulan—sama dengan waktu jeda penanaman tebu— kiranya tidak menguntungkan petani. Sebab, besar kemungkinan masa yang dimiliki petani jauh dari tiga bulan. Mereka dihadapkan pada kerja paksa serta membereskan sisa-sisa tanaman tebu.Di lain sisi, mereka juga dihadapkan kuasa pemilik perkebunan yang tidak mau tahu jika waktunya penanaman tebu sudah dimulai. Belum lagi, mereka harus dihadapkan pada penggiliran air yang jauh lebih mengutamakan kepentingan perkebunan tebu. Akibatnya, kiranya sering terjadi, petani harus memetik padinya sebelum waktunya. Kiranya pula, belum semua padi yang mereka budidayakan sehingga besar kemungkinan akan terjadi bencana kelaparan yang menuntut penyelesaian dari pamong praja dan pemerintah kolonial. Di satu sisi, ancaman kelaparan bisa menumbuhkan benih-benih gerakan sosial di kalangan petani yang tentunya mengancam pamong praja, pemerintah kolonial, dan pemilik perkebunan.
Sementara itu, soal keberadaan insinyur pengairan, dengan paradigma strukturistik, kiranya dapat dijelaskan bahwa para insinyur telah memperhitungkan kondisi-kondisi struktural di lingkungannya—dari buruknya sistem pengairan—dan mencoba mencari keuntungan dengan berbagai inovasi yang mereka lakukan. Tentu saja, para insinyur itu sebelumnya tidak memperhitungkan bahwa inovasi-inovasi yang mereka lakukan itu akan menyebabkan penderitaan di kalangan para petani; hal yang kiranya bertentangan dengan tujuan keilmuan yang mereka tekuni. Akan tetapi, perubahan struktur politik, ekonomi, dan sosial yang ada di masyarakat, mengharuskan mereka memilih untuk melakukan pembangunan pengairan. Oleh karenanya, di satu sisi, mereka seringkali harus berhadapan dengan kepentingan pemerintah, pamong praja, serta dihadapkan pada insinyur lainnya, seperti insinyur pertanian. Tidak ketinggalan, mereka dihadapkan pada kepentingan masyarakat. Masyarakat disini memiliki dua arti yakni masyarakat yang diuntungkan dengan modernisasi pengairan serta masyarakat yang dirugikan dengan inovasi yang mereka lakukan.
Dari tiga paragraf di atas, tampak bahwa jika kedua kerangka penjelasan terkait dengan dua agen dalam suatu struktur masyarakat dikembangkan, akan didapat penjelasan sejarah yang menyeluruh. Dengan kata lain, jika masing-masing agen dalam suatu struktur masyarakat dipandang dengan paradigma strukturistik, penjelasan sejarah yang dibuat tidak akan timpang semata-mata hanya menonjolkan satu agen dan mendukung, menaruh curiga, atau menghujat sistem kolonial.

Kerangka Evolusioneris
Penggunaan paradigma evolusioneris untuk menjelaskan sejarah, dalam tulisan ini, berangkat dari dua diksi yang digunakan oleh Ravestijn, yaitu “serangan peradaban” serta “mengontrol air, mengontrol masyarakat”. Sebagaimana yang telah diutarakan di awal tulisan ini, pilihan kata atau frasa yang digunakan oleh Ravestijn memiliki banyak banyak makna. Di satu sisi, seolah menafikkan kepemilikan masyarakat Jawa kan teknologi pengairan adapun di sisi lainnya menyiratkan adanya perubahan sistem teknologi.
Sementara itu, terkait dengan diksi “mengontrol air, mengontrol masyarakat”, tampak jelas bahwa diksi tersebut menyuratkan proses perubahan. Seolah dengan diksi itu, Ravestijn hendak menekankan bahwa perubahan teknologi pengairan akan mengakibatkan perubahan juga di masyarakat, khususnya perubahan budaya.
Dari dua paragraf di atas, tampak jelas bahwa perubahan merupakan poin utama yang hendak dijelaskan oleh Ravestijn. Lebih lanjut, ilmu sejarah memiliki banyak pisau analisis untuk menjelaskan perubahan di masyarakat. Diantaranya, lewat pendekatan strukturistik yang telah diuraikan dalam sub judul sebelumnya. Akan tetapi, karena penekanannya pada soal (ke)budaya(an), dalam tulisan ini saya mencoba mengajukan paradigma evolusionaris yang biasa dipakai para antropolog. Sementara itu, berbicara soal paradigma evolusionaris, kiranya akan merunut evolusi dari subparadigma: evolusi unilinear, evolusi multilenear, evolusi universal, sampai dengan evolusi diferensial (Heddy Shri Ahimsa-Putra, 2009: 27).
Subparadigma evolusi unilenear. Paradigma ini diantaranya dikemukakan oleh E.B. Taylor. Pada prinsipnya, paradigma ini bisa digunakan untuk menjelaskan perkembangan kebudayaan, khususnya sistem teknologi, yang dimiliki oleh masyarakat Jawa. Dengan merunut perkembangan teknologi masyarakat, dalam konteks artikel yang kita bicarakan ialah masyarakat Jawa, dari masa berburu dan meramu sampai dengan masa yang hendak dijadikan pokok bahasan, kita akan memperoleh gambaran perubahan yang menyeluruh, terutama kaitannya dengan kemajuan. Akan tetapi, salah satu kelemahan yang bisa kita lihat dari subparadigma ini ialah keberadaannya yang terlalu menggeneralisasikan pokok permasahan. Ketika memandang masyarakat Jawa dengan subparadigma ini, misalnya kita akan dihadapkan bahwa setiap individu atau kelompok masyarakat Jawa memiliki karakteristik masing-masing.
Subparadigma evolusi multilenear. Dalam penelitian sejarah berikut penjelasannya, penggunaan subparadigma ini kiranya dapat digunakan untuk menjembatani permasalahan data. Dicetuskan oleh J. Steward, subparadigma ini menekankan bahwa pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan selalu berbeda, tergantung lingkungannya masing-masing. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa suatu kebudayaan berada dalam lingkungan dan beradaptasi dengan lingkungan. Adaptasi itu dilakukan melalui inti kebudayaan dan menghasilkan culture core berupa teknoekonomi dan organisasi sosiopolitik.
Lebih lanjut, mengutip Kaplan dan Manners (2002: 64), gagasan Steward dapat dirumuskan menjadi tiga hal yang masing-masing berkaitan erat. Yakni, (1)institusi inti lawan institusi periferal; (2) tipe budaya; serta taraf integrasi sosial-budaya. Institusi inti, kata Steward, berkaitan erat dengan cara suatu beudaya beradaptasi terhadap lingkungan dan mengeksploitasi lingkungan itu. Steward menambahkan, unsur-unsur inti meliputi unsur ideologis, sosiopolotik, dan teknoekonomi.
Sehubungan istilah teknoekonomi, kaplan dan Manners menulis bahwa teknoekononi tidak sama dengan teknologi. Pasalnya, teknoekonomi tidak hanya mengacu pada mesin, alat-alat, dan senjata-senjata suatu budaya melainkan juga cara benda-benda itu diorganisasikan dalam penggunaannya dan bahkan juga pengetahuan ilmiah yang memungkinkan hadirnya benda-benda itu (Kaplan dan Manners, 2002: 127).
Kembali pada tulisan Ravestijn, jika pengairan merupakan bagian dari teknologi dalam sistem kebudayaan maka sesungguhnya dalam menjelaskan perkembangan teknologi pengairan kita pun harus menyinggung soal adaptasi yang terjadi di  masyarakat terkait dengan perkembangan itu. Selain itu, menyoroti aspek teknoekonominya.
Subparadigma evolusi universal. Subparadigma ini secara keseluruhan berkaitan dengan metode pengumpulan data. Tercatat, ada dua pencetus subparadigama ini. Pertama, Leslei White—selanjutnya ditulis  White. Menurut White, perkembangan kebudayaan merupakan perpaduan antara energi dengan teknologi. Asumsinya, (1) energi tidak bisa hilang, hanya beralih atau bertansformasi; (2) setiap kebudayaan memerlukan energi; (3) mengubah sesuatu membutuhkan energi; serta (4) energi bisa dihitung. Oleh karenya, White pun menyatakan rumusan kuantitatif terkait dengan korelasi antara energi dan teknologi dengan perubahan kebudayaan. Lengkapnya, ia menyatakan bahwa budaya mengalami kemajuan seukur dengan tingginya peningkatan besarnya energi yang dikerahkan perkapita pertahun, atau seukur dengan peningkatan efisiensi pemanfaatan energi (E x T    C, dimana E merupakan energi, T adalah efisiensi alat atau teknologi dan C adalah culture atau kebudayaan).
Dalam konteks tulisan Ravestijn, subparadigma ini kiranya selaras dengan pernyataannya, “mengontrol air, mengontrol masyarakat”. Dengan kata lain, melihat konsep yang ditawarkan oleh Ravestijn, tampak jelas bahwa perubahan kebudayaan ditentukan oleh perkembangan teknologi dan pemanfaatkan air sebagai sumber energi.
Selanjutnya, berhubung rumusan yang diajukan oleh White sifatnya kuantitatif, dalam penjelasan terkait dengan suatu tema sejarah, sejarawan kiranya perlu mencermati  kaidah-kaidah dalam penulisan sejarah kuantitatif.
Sementara itu, pencetus kedua subparadigma evolusionaris ialah V. Gordan Childe, subparadigma ini lebih menekankan pada soal komunikasi daripada tahapan evolusi (dari berburu dan meramu; revolusi-revolusi tertentu; revolusi industri; dan revolusi komunikasi). Jika dikorelasikan dengan artikel Ravestijn yang dibicarakan, subparadigma ini akan menunjukkan inovasi-inovasi yang terjadi di masyarakat, pengelompokan masyarakat, pembagian kerja yang kompleks, serta pembagian area pertanian (rural area) dengan area urban.
Subparadigma evolusi diferensial. Subparadigma ini dikemukakan oleh  Corneiro Ia berpendapat bahwa perubahan kebudayaan ditentukan oleh oleh unit kebudayaan. Oleh karenanya, jika menggunakan subparadigma ini dalam menjelaskan suatu tema sejarah, sejarawan hendaknya mengikuti kerja para antropolog yakni menghitung berbagai item masing-masing unsur kebudayaan universal. Untuk bisa menghitung item setiap unsur kebudayaan, kita perlu menggunakan rumusan yang buat oleh R. Linton. Rumusan itu terdiri dari empat tahap yakni culture activities, complexes, traits, dan items (Koentjaraningrat, 1990: 205). Sebagai contoh, saat hendak menghitung jumlah item dalam sistem pengetahuan dan teknologi suatu masyarakat pada tahun tertentu. Langkah pertama yang harus kita lakukan ialah merincinya lagi ke dalam subunsur. Misalnya sub unsur pengetahuan dan teknologi di bidang: pertanian, perburuan, perdagangan, perkebunan, pertambangan, industri jasa, industri manufaktur, dan sebaginya. Selanjutnya, tiap bagian itu mempunyai wujudnya sebagai sistem budaya yang akan kita sebut sebagai adatnya; wujudnya sebagai sistem sosialnnya kita sebut sebagai aktivitas sosialnya; dan wujudnya yang fisik, yang berupa peralatan merupakan benda-benda budaya. Benda-benda budaya inilah yang kita sebut sebagai item. Oleh karena itu, ketika berbicara tentang perkembangan pengetahuan dan teknologi suatu masyarakat pada periode tertentu, kita akan melihatnya dari benda-benda budayanya. Terkait dengan tulisan Ravestijn, bisa saja kita mencacah jumlah pintu air dari keseluruhan bendungan yang ada, sebagai salah satu wujud fisik sistem pengetahuan dan teknologi pengairan.

Kesimpulan
Dari uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penjelasan sejarah menuntut kita—para sejarawan—untuk menggunakan alat bantu dalam analisisnya. alat bantu sejatinya memberikan kemudahan bagi kita untuk merekonstrulsi masa lalu agar lebih ilmiah Tujuannya, supaya tulisan yang dihasilkan tidak kering ataupun hambar. Namun penuh dengan berbagai teori-teori yang dapat dikembangkan  bagi kemajuan ilmu sejarah;bukankah sejarah itu teori ‘ Terkait dengan penjelasan sejarah yang berhubungan dengan perubahan di masyarakat, kita dapat mendekatinya dengan dua paradigma, yakni paradigma strukturistik ataupun paradigma evolusionaris. []



Daftar Pustaka
Wim Reversteijn, 2007 Controling Water, Controling People: Irrigation Engineering and State Formation in the Dutch East Indies, Itinerairo Volume  XXXI.

Bambang Purwanto,2006 Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?! Yogyakarta:
Ombak.
Koentjaraningrat, 1990 Sejarah Teori Antropologi I & II. Jakarta: UI-Press.
Heddy Shri Ahimsa-Putra,1995 & 2009 Paradigma Ilmu Sosial-Budaya: Sebuah
Pandangan. Makalah Kuliah Umum.
Susan Blackburn,2011 Jakarta: Sejarah 400 Tahun. Jakarta: Komunitas Bambu.
David Kaplan & Robert Manners,2002 Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Rudolf Mrazek,2007 Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan
Nasionalisme di Sebuah Koloni, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Siep Stuurman dan Maria Grever 2007    Beyond the Canon : History for the
Twenty-First Century. Palgrave Mc Millon.
R. Moh. Ali 2005    Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia. LKiS : Yogyakarta

HISTORITICAL GUA UMANG MEGALITIK TANAH KARO



TINJAUAN HISTORIK  GUA UMANG SEBAGAI INDIKASI TRADISI MEGALITIK DI TANAH KARO

Oleh
Richa Efrianti Tarigan & Lukitaningsih,

ABSTRAK
Tradisi megalitik adalah tradisi yang didasari konsep kepercayaan akan adanya roh, adanya kehidupan setelah mati adanya hubugan timbal balik antara orang yang mati dan yang hidup, dan adanya tempat tinggal roh yaitu di tempat-tempat yang tinggi/ gunung/ bukit, serta penghormatan terhadap leluhur, dan tradisi megalitik mengenal dua sistem penguburan yakni sistem penguburan primer (dengan atau tanpa wadah kubur) dan sistem penguburan sekunder (dengan wadah kubur). Masyarakat Karo mengenal tradisi megalitik terbukti dengan adanya kepercayaan animisme dan dinamisme pada masyarakat Karo (agama pemena), dan masyarakat Karo mengenal tiga sistem penguburan yakni penguburan primer, penguburan sekunder dan penguburan primer-sekunder yang merupakan karaterisrik dari tradisi megalitik secara umum.Di Tanah Karo terjadi perubahan proses prosesi penguburan dan perubahan bentuk wadah kubur. Hal ini terjadi karena masuknya agama Hindu dan agama Kristen di Tanah Karo.
Kata Kunci: Gua Umang, Tanah Karo, Megalithik
* Alumni Jur.Pend.Sejarah FIS UNMED
*Pengajar Jur.Pend.Sejarah FIS UNIMED


PENDAHULUAN
“Tinggalan budaya masa lalu sebagai hasil kreativitas merupakan buah pikiran yang dapat berbentuk fisik (tangible) dan non-fisik (intangible). Tinggalan fisik dapat berupa artefak, ekofak dan fitur, sedangkan tinggalan non- fisik dapat berupa falsafah, nilai, norma yang nenjadi sumber aktivitas kelakuan yang berpola dan tinggalan fisik kebudayaan masa lalu”(Ardika, 1998 dalam Setiawan, 2009: 94).
Sejalan dengan perkembangan kebudayaan manusia mulai dari masa Paleolitikum hingga Neolitikum serta berbagai proses yang melingkupinya kepercayaan manusia juga mengalami perkembangan. Perkembangan kepercayaan yang cukup kompleks kemudian dikenal dalam tradisi Megalitik (Susilowati, 2005:80). Kebudayaan megalitik didasari oleh konsep kepercayaan akan adanya roh, adanya kehidupan setelah mati, adanya hubungan timbal balik antara orang yang mati dan yang hidup, dan adanya tempat tinggal roh yaitu di tempat-tempat yang tinggi/ gunung/ bukit, serta penghormatan kepada leluhur (Wiradnyana, 2005:24)
Tradisi megalitik dalam kenyataannya masih berkembang pada saat ini. Di beberapa daerah di Indonesia, sekalipun tradisi tersebut tidak tampak secara utuh  tetapi tetap menyisakan  unsur-unsurnya. Di Indonesia sendiri tinggalan- tinggalan megalitik masih terus dibuat dan digunakan oleh masyarakat seperti di Nias, Nusa Tenggara Timur, Toraja, dan di Samosir, bahkan tradisi megalitik ini diduga juga berkembang di Tanah Karo.
Adapun bangunan monumental yang berupa kuburan dinding batu juga dijumpai di Tanah Karo, sebuah wilayah kabupaten yang terdapat di Sumatera Utara yang didiami masyarakat (Batak) Karo. Monument dimaksud, disamping memiliki bentuk yang unik sekaligus memiliki persamaan dengan daerah lainnya mengindikasikan keterkaitannya dengan tradisi megalitik yang berkembang di Indonesia pada umumnya, di Sumatera pada khususnya (Wiradnyana, 2005:21).
Bangunan monumental di atas dinamai Gua Umang oleh masyarakat Karo. Ada beberapa Gua Umang yang terdapat di Kabupaten Karo, salah satunya di Desa Perbesi, Kecamatan Tiga Binanga, Kabupaten Karo. Sebelumnya Ketut Wiradnyana telah menulis tentang Gua Umang yang terletak di Desa Sari Nembah, Kecamatan Munte, Kabupaten Karo. Dr. Edmund Edwards Mc Kinnon (peneliti dan arkeolog berkebangsaan Inggris) dan Eron Damanik, M.Si (staf Pussis UNIMED) juga telah mempublikasikan Batu Kemang atau Batu Umang yang ada di Desa Sembahe, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang. Oleh karena itu peneliti memilih objek penelitian Gua Umang yang terdapat di Desa Perbesi, Kecamatan Tiga Binanga, Kabupaten Karo untuk melihat bentuk dan perkembangan, fungsi, serta persepsi masyarakat Karo mengenai Gua Umang dengan acuan tulisan-tulisan para arkeolog dan sejarawan di atas.
Menurut para arkeolog dan sejarawan di atas Gua Umang adalah sebuah wadah kubur atau yang berfungsi serupa dengan sarkofagus. Tinggalan megalitik sejenis sarkofagus di Indonesia banyak ditemukan di Sulawesi Utara, Bali, Nusa Tenggara Timur, Toraja, dan di Samosir.  Gua Umang masih merupakan indikasi bagian budaya megalitik di Tanah Karo karena secara khusus objek arkeologis dimaksud belum pernah diteliti secara khusus dan mendalam. Belum diketahui apa fungsi gua ini sebenarnya namun jika dilihat dari bentuk dan fungsi di daerah lain di Indonesia yang memiliki kesamaan, maka diduga objek ini memiliki fungsi yang berkaitan dengan penguburan.
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang Gua Umang ini peneliti mengangkat permasalahan di atas menjadi sebuah tulisan dalam bentuk penelitian tentang “ Tinjauan History Gua Umang Sebagai Indikasi Tradisi Megalitik di Tanah Karo”.

PEMBAHASAN
1.    Gua
Gua adalah sebuah lubang alami di tanah yang cukup besar dan dalam. Beberapa ilmuan menjelaskan bahwa dia harus cukup besar sehingga beberapa bagian di dalamnya tidak menerima cahaya matahari .Gua adalah liang (lubang) besar pada kaki gunung .Gua juga dipakai sebagai kuburan,terutama untuk suku tertentu seperti Toraja yang menetapkan hunian abadi nenek moyang atau mereka yang mendahului keluarga yang masih hidup di suatu tempat yang perlu upaya untuk mencapainya. Penguburan terakhir ini memerlukan upacara agar roh yang meninggal mendapatkan tempat sebagaimana mereka menjalankan kehidupan di dunia ( PaEni, 2009:19).
Dewasa ini Gua Umang juga sering disebut- sebut sebagai salah satu Gua Peninggalan zaman Prasejarah di Sumatera. Gua Umang ini dianggap sebagai indikasi Tradisi Megalitik di Tanah Karo. Gua umang bukan merupakan gua yang di bentuk secara alamiah, tetapi Gua Umang merupakan gua buatan yang dibuat dengan cara memahat tebing ataupun batu. Gua Umang diduga berfungsi sebagai wadah penguburan sekunder. Gua ini memiliki fungsi yang sama seperti sarkofagus yakni sebagai wadah penyimpanan tulang-belulang.
Situs-situs gua prasejarah tersebar pada beberapa wilayah di Nusantara, antara lain Papua, Sulawesi, Kalimantan, Jawa, dan Sumatera. Umumnya budaya yang terdapat di situs- situs ini bercorak mesolitik hingga neolitik awal, bahkan juga terdapat budaya yang bercorak paleolitik. Di Sumatera, situs gua prasejarah di temukan di bagian Selatan dan Utara. Situs gua Tiangko Panjang (Kecamatan Sungai Manua, Kabupaten Bangko, Jambi), Provinsi Sumatera Selatan mewakili situs bagian selatan Sumatera. Kemudian untuk bagian utara Sumatera meliputi Gua Kampret, Gua Marike, Ceruk Bukit Lawang di Kabupaten Langkat, Gua Putri Pukes, Loyang Mendali di Aceh, Gua Togi Ndrawa dan Gua Togi Bogi  (Susilowati, 2009:182).
2.    Umang
Umang adalah sebangsa makhluk halus, orang bunian yang biasa hidup di gua-gua batu, sebangsa orang cebol yang suka menculik manusia dan beberapa lama kemudian mengembalikannya, sebangsa makhluk halus yang mempunyai keahlian untuk menghilang (Kamus Karo Indonesia)
Umang merupakan bahasa Karo yang berarti jin atau roh. Umang seperti manusia, tetapi lebih kecil. Bedanya lagi, kalau berjalan, kakinya terbalik, tumitnya menghadap kedepan sedangkan kakinya ke arah belakang (Tolen Ketaren, dalam Posmetro Medan Minggu, 13 Februari 2011).
Umang adalah sejenis makhluk yang digambarkan sebagai manusia kerdil dengan telapak kaki yang terbalik, artinya kalau manusia biasa jari-jari kakinya menghadap ke depan maka pada orang umang kebalikannya (Wiradnyana, 2005:24).
3.    Tradisi
Berbicara mengenai Tradisi artinya kita berbicara mengenai sesuatu yang mempunyai fungsi memelihara atau menjaga yaitu sesuatu yang disebut dengan traditum yang di transmisikan satu generasi ke generasi berikutnya (Sanjoyo, 1985)

Sementara itu Edward Skill dalam Sanjoyo (1985:90) menyatakan:   
Arti tradisi yang paling mendasar adalah “traditium”, yaitu sesuatu yang diteruskan (transmitted) dari masa lalu ke masa sekarang bisa berupa benda atau tingkah laku sebagai unsur kebudayaan atau berupa nilai, norma, harapan, dan cita-cita. Dalam hal ini tidak di permasalahkan berapa lama unsur-unsur tersebut dibawa dari satu generasi ke generasi berikutnya.

4.    Megalitik
Dalam “Metode Penelitian Arkeologi”, yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (1999)  Megalitik berasal dari kata Mega yang berarti besar, dan lithos yang berarti batu. Oleh karena itu megalitik adalah bangunan yang dibuat dari batu besar,yang terjadi selama masih berhubungan dengan hal-hal yang berkaitan dengan  kegiatan masyarakat sebelum ada pengaruh Hindu- Budha dan Islam.
Sementara menurut Sonjaya (2008:26) megalitik secara hafiah berasal dari dua kata, yakni mega’besar’ dan lithos’batu’, sehingga paduan dua kata itu digunakan untuk menyebut artefak batu besar, yang menjadi salah satu hasil budaya prasejarah.
Megalitik merupakan budaya universal karena jejaknya ditemukan di berbagai tempat di dunia seperti di Eropa, Asia, dan bahkan di pulau- pulau kecil di Polinesia.. Pendirian monument megalitik (wadah kubur) bertujuan menjaga perjalanan arwah nenek moyang ke dunianya, agar tidak tersesat dan terhindar dari ancaman bahaya (Geldern, 1928: 276-315 dalam Wiradnyana, 2005:20). Pada garis besarnya tinggalan megalitik dibedakan dalam 3 kelompok, masing-masing adalah: 1. tinggalan yang berhubungan dengan sistem penguburan; 2. tinggalan/ objek tunggal yang berhubungan dengan sistem pemujaan dan; 3. tinggalan berbentuk struktur. Tinggalan berbentuk kubur ditandai sisa penguburan seperti rangka manusia, bekal kubur dan lainnya. Objek tunggal contohnya adalah menhir, dolmen, dan wujud lainnya yang berasosiasi dengan upacara religi. Adapun tinggalan berbentuk struktur, dibentuk dari sejumlah batu yang menghasilkan antara lain punden berundak, dan bangunan megalitik campuran dalam satu areal (ada jalan batu, meja batu, tangga batu dan sebagainya) yang pembangunannya berhubungan dengan ide megalitik. Dari uraian di atas Gua Umang tergolong kedalam kelompok yang pertama yakni tinggalan megalitik yang berhubungan dengan sistem penguburan, karena Gua Umang di duga merupakan kuburan dinding batu  yang memiliki kesamaan fungsi dengan Sarkofagus pada umunya.
5.    Persepsi
Dalam kehidupan sehari-hari setiap individu selalu bersosialisasi satu dengan yang lain terhadap objek yang ada disekitarnya, baik terhadap sesama manusia,  peristiwa, norma-norma, gejala sosial dan juga benda-benda. Kita juga sering mendengar kata “persepsi” yang ditujukan kepada individu atau perseorangan yang menanggapi suatu peristiwa atau informasi yang terjadi dilingkungan suatu masyarakat.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:863) “persepsi” adalah tanggapan/ penerimaan langsung dari sesuatu atau proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca indranya.
Hal di atas didukung oleh pendapat Thoha (1999:138) yang menyatakan persepsi adalah:
Proses kognitif yang dialami oleh setiap orang dalam memahami tentang lingkungan baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, dan penciuman. Kunci untuk memahai persepsi adalah terletak dari pengenalan bahwa persepsi itu adalah suatu penafsiran yang unik terhadap situasi dan bukannya suatu pencatatan yang benar terhadap situasi. Persepsi sangat berperan dalam menentukan sikap dan prilaku seseorang.
Sedangkan menurut Martinus (2001:67) persepsi merupakan proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca indranya, kesadaran atau tanggapan akan sesuatu yang diterima oleh panca indranya.
Selanjutnya Wirawarman (1995:37) menyatakan bahwa proses persepsi merupakan hasil hubungan antara manusia dengan lingkungan dan kemudian diproses dalam alam kesadaran yang dipengaruhi memori tentang pengalaman masa lampau, minat, sikap, intelegensi, dimana hasil penilaian terhadap apa yang diindrakan akan mempengaruhi tingkah laku.
Dari pendapat-pendapat di atas disimpulkan bahwa persepsi adalah tanggapan atau pandangan seseorang tentang sesuatu hal. Persepsi seseorang dapat bersifat positif dan negatif. Persepsi seseorang dapat dipengaruhi oleh pengalaman yang dialami oleh orang tersebut.
    Gua adalah sebuah lubang alami di tanah yang cukup besar dan dalam. Beberapa ilmuan menjelaskan bahwa dia harus cukup besar sehingga beberapa bagian di dalamnya tidak menerima cahaya matahari  Gua juga dipakai sebagai kuburan,terutama untuk suku tertentu seperti Toraja yang menetapkan hunian abadi nenek moyang atau mereka yang mendahului keluarga yang masih hidup di suatu tempat yang perlu upaya untuk mencapainya. Penguburan terakhir ini memerlukan upacara agar roh yang meninggal mendapatkan tempat sebagaimana mereka menjalankan kehidupan di dunia
Umang adalah sebangsa makhluk halus, orang bunian yang biasa hidup di gua-gua batu, sebangsa orang cebol yang suka menculik manusia dan beberapa lama kemudian mengembalikannya, sebangsa makhluk halus yang mempunyai keahlian untuk menghilang (Kamus Karo Indonesia)Umang adalah sejenis makhluk yang digambarkan sebagai manusia kerdil dengan telapak kaki yang terbalik, artinya kalau manusia biasa jari-jari kakinya menghadap ke depan maka pada orang umang kebalikannya     Arti tradisi yang paling mendasar adalah “traditium”, yaitu sesuatu yang diteruskan (transmitted) dari masa lalu ke masa sekarang bisa berupa benda atau tingkah laku sebagai unsur kebudayaan atau berupa nilai, norma, harapan, dan cita-cita. Dalam hal ini tidak di permasalahkan berapa lama unsur-unsur tersebut dibawa dari satu generasi ke generasi berikutnya. Megalitik adalah bangunan yang dibuat dari batu besar,yang terjadi selama masih berhubungan dengan hal-hal yang berkaitan dengan  kegiatan masyarakat sebelum ada pengaruh Hindu- Budha dan Islam. megalitik secara hafiah berasal dari dua kata, yakni mega’besar’ dan lithos’batu’, sehingga paduan dua kata itu digunakan untuk menyebut artefak batu besar, yang menjadi salah satu hasil budaya prasejarah.
Kesimpulan
  Gua Umang yang terdapat di desa Sari Nembah Kecamatan Munte dipahat pada dinding tebing batu. Pintu masuknya berukuran 47 cm x 51 cm dan berhiaskan pelipit di seluruh sisinya. Pintu masuk menghadap ke arah barat daya dan pada ketinggian 10 meter dari permukaan tanah. Ruang di dalamnya berdenah lonjong  kebulat-bulatan dengan bagian terpanjang 230 cm dan bagian terlebar 150 cm. Pada sisi kiri (utara) lantai ruang tersebut dibuat berteras mengikuti bentuk dinding dengan beda tinggi 16 cm dan lebar 30 cm serta panjangnya 194 cm. Tinggi atap ruangan ini adalah 85cm.  Pada tulisannya  beliau menyebutkan bahwa Gua Umang merupakan indikasi tradisi megalitik di Tanah Karo. Pada tulisannya beliau menggambarkan proses penguburan pada tradisi megalitik yang terdiri dari penguburan primer dan sekunder., dan Gua Umang digunakan sebagai tempat penyimpanan tulang-belulang pada penguburan sekunder oleh masyarakat Karo.
 Gua Umang atau Batu Kemang memiliki fungsi untuk menyimpan kerangka manusia. Batu Kemang dipahat khusus menyerupai rumah sebagai rumah untuk orang yang telah meninggal. Gua Umang atau Batu Kemang yang  terbuat dari batu  besar. Di dalam batu itu diberi lubang yang dibuat dengan pahat. di bagian- bagian depannya terdapat  pintu berukuran 60 cm x 60 cm sebagai jalan untuk memasukkan kerangka mayat . Di bagian atas pintu tersebut diberi ornamentasi menyerupai rumah. Luas pahatan batu pada Batu Kemang di Sembahe berukuran 2 x 2 meter dengan tinggi 80 cm (sisi kanan dan kiri) dan 1 meter di tengahnya. di Tanah Karo ada beberapa Gua Umang, namun keberadaanya belum teridenfikasi seluruhny  merupakan pengaruh kepercayaan Hindu Budha yang terbawa masuk kepada masyarakat Karo  sewaktu penetrasi Hindu sejak abad ke-9 bahkan bisa lebih tua.


DAFTAR PUSTAKA
Dada Meraxa. 1973. Sejarah Kebudayaan dan Suku-Suku Di Sumatera Utara. Medan: Sastrawan
Departemen Pendidikan Nasional. 1999. Metode Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
Depdiknas.2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka   
Martinus, S. 2001. Kamus Kata Serapan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
PaEni, Muklis. 2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia Arsitektur. Jakarta: PT. Raja Gravindo Pesada.
Sonjaya, Jajang A. 2008. Melacak Batu Menguak Mitos, Petualangan Antarbudaya di Nias, Yogyakarta: Kanisius
Susilowati, Nenggih, 2009. “ Gua dan Kawasan Karst, Daya Tarik Serta Ragam Fungsinya dalam Kehidupan Manusia” dalam Sangkhala No 24. Medan: Balai Arkeologi Medan. hal 181- 185
Wiradnyana, Ketut,2005. “ Gua Umang, Kubur Dinding Batu di Tanah Karo: Indikasi Tradisi Megalitik”, dalam Sangkhala No 16. Medan: Balai Arkiologi Medan

Nasionalisme dan Patriotisme Canon Dalam Penulisan Sejarah Di Indonesa


Nasionalisme dan Patriotisme
Canon Dalam Penulisan Sejarah Di Indonesia



Penulisan sejarah adalah merupakan sejarah itu sendiri, jadi penulisan haruslah mencitrakan karya yang ilmiah serta lepas dari pandangan yang subjektif .Penulisan sejarah Indonesia masih berkutat pada pendekatan untuk menumbuhkembangkan semangat kebangsaan dan patriotism sehingga menepikan kesempatan untuk mendudukkan sejarah sebagai Ilmu .Pengejawantahan konsep Nasionalisme dan Patriotisme tetap menjadi canon dalam penulisan sejarah mengakibatkan  kita terjebak dalam jargon-jargon saja dan cenderung serimonial manakala berpapasan dengan sejarah .Sejarah untuk penguatan jatidiri adalah keniscayaan sehingga berdampak pada tampilan sejarah yang subjektif

Kata kunci; nasionalisme,patriotism,canon penulisan sejarah

*Pengajar Jur.Pend.Sejarah FIS UNIMED


Pendahuluan
    “Why have canons become problematic in our?” Jika pernyataan Stuurman dan Grever (2007) itu dikaitkan dengan tradisi penulisan sejarah di Indonesia, maka dapat dikatakan bahwa politisasi dan ideologisasi penulisan sejarah merupakan faktor utama penyebab permasalahannya. Betapa tidak, sejak dirumuskannya historiografi Indonesiasentris pada Seminar Sejarah Nasional Pertama tahun 1957 di Yogyakarta sampai pada arah penulisan sejarah dewasa ini, masih dipenuhi atau dihiasi oleh nilai-nilai kebangsaan, sehingga mengakibatkan sebagian besar pemahaman tentang sejarah Indonesia cenderung anakronis.
    Tradisi penulisan sejarah Indonesia seakan-akan hanya menjadi pengumbar nafsu kebangsaan, karena canon yang dibangun hanya bergerak dalam kubangan “nasionalisme” dan “petriotisme”. Segala hal yang berhubungan dengan istilah nasionalisme dan patriotisme telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari penulisan sejarah di Indonesia. Hal ini dikarenakan, canon sering kali mengistimewakan peristiwa politik yang penting dan personalitas yang besar, tentu saja mana yang dianggap penting dan besar sering kali disesuaikan dengan selera pemerintah (Stuurman dan Grever, 2007). Cara pandang ini telah mengakibatkan tradisi penulisan sejarah Indonesia menjauh dari tradisi sejarah kritis, tetapi justru menghadirkan penulisan sejarah yang penuh dengan muatan politis dan ideologis yang tidak mengakui keberagaman pandangan dalam konstruksi dan pemaknaan terhadap masa lalu. Dalam hal ini, sejarah cenderung menjadi formal dan elitis karena canon cenderung mengutamakan peristiwa dan tokoh besar, sehingga tidak memberi ruang pada sejarah mikro atau sejarah sehari dan kemanusiaan.  
    Oleh sebab itu, tulisan ini mencoba untuk melihat bagaimana tradisi penulisan sejarah Indonesia selama ini telah membentuk canon nasionalisme dan patriotisme yang sarat dengan muatan ideologis dan cenderung memiliki perspektif yang sempit, serta sejauh mana tradisi penulisan sejarah Indonesia mampu mengembangkan canon nasionalisme dan patriotisme, dan kemungkinan membangun cara berpikir lain untuk memunculkan canon baru (new canon) dalam konteks penulisan sejarah yang manusiawi?
Pembahasan
    Sebagaimana diketahui bahwa Seminar Sejarah Nasional Pertama yang dilaksanakan di Yogyakarta tahun 1957 merupakan tonggak penting dalam perkembangan penulisan sejarah di Indonesia, karena telah berhasil menyusun sebuah rumusan baru tentang landasan filosofis sejarah nasional yang dikenal sebagai Indonesiasentris. Kebutuhan untuk menyusun konsep dasar sejarah nasional itu merupakan reaksi terhadap historiografi kolonial yang mengecilkan arti masyarakat Indonesia dalam proses sejarahnya sendiri (Purwanto, 2006). Dengan kata lain, perspektif yang digunakan dalam historiografi itu ialah perspektif Indonesia (Ali, 2005). Namun menurut Purwanto (2006) bahwa sejak awal perkembangannya, historiografi Indonesiasentris cenderung menjauh dari sejarah objektif karena dekolonisasi yang menjadi prinsip dasar dari Indonesiasentris ternyata juga digunakan untuk merekonstruksi masa lalu yang bersifat ultra nasionalis dan lebih mementingkan retorika, serta tidak mampu lepas jeratan warisan sejarah kolonial.
    Pernyataan Purwanto di atas tercermin dari karya-karya generasi awal sejarawan Indonesia, seperti Muhammad Yamin dan Soekanto. Dalam karyanya tentang “Sedjarah Peperangan Dipanegara : Pahlawan Kemerdekaan Indonesia” (1952), menguraikan Diponegoro sebagai seorang pahlawan yang melawan ambisi kolonial dan pemersatu bangsa. Karya Soekanto tentang “Sentot Alias Alibasah Abdulmustopo Prawirodirdjo Senopati Pangeran Diponegoro” juga dapat disejajarkan dengan karya Muhammad Yamin. Dimana Sentot dan Diponegoro, digambarkan sebagai tokoh yang sempurna dan pahlawan yang telah berjasa dalam usaha mempersatukan bangsa maupun perjuangan nasional Indonesia, tanpa perlu melihat konteks waktu, ruang dari peristiwa itu dan realitas kemanusiaan dari kedua tokoh tersebut.
    Lebih lanjut Purwanto mengemukakan bahwa di dalam konteks metodologis yang merujuk pada wacana dasar para relativis, karya-karya itu sebenarnya telah merekonstruksi sejarah berdasarkan interpretasi kekinian, yaitu jiwa zaman yang berkembang pada waktu itu yang menitikberatkan pada nasionalisme dan patriotisme. Jika merujuk pernyataan Stuurman dan Grever (2007) yang mengemukakan “a canon can therefore be defined as a master narrative of community’s historis, embodied in the social routines and professional of its recognized history specialistrt”, maka dapat dikatakan bahwa jiwa zaman (zeitgeist) yang menitikberatkan pada nasionalisme dan patriotisme merupakan canon yang dibangun oleh generasi awal sejarawan Indonesia dalam karya-karyanya. Atau dengan kata lain, nasionalisme dan patriotisme merupakan canon dalam penulisan sejarah Indonesia pada periode awal perkembangannya.
    Walaupun menjauh dari sejarah yang objektif, tetapi jika cara penulisan generasi awal sejarawan Indonesia di atas dikaitkan dengan jiwa zaman (zeitgeist) pada waktu itu, maka cara penulisan mereka dengan mudah dapat dimengerti mengingat adanya keperluan untuk memupuk semangat nasionalisme dari sebuah bangsa yang baru merdeka. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa segala hal yang berhubungan dengan istilah nasionalisme telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari penulisan sejarah di Indonesia. Dengan demikian, nasionalisme telah menjadi “canon pokok” yang menghiasi sejarah Indonesia.
    Akan tetapi, canon yang dibangun dalam karya-karya generasi awal sejarawan Indonesia menjadi bermasalah karena cara penulisannya lebih mementingkan retorika yang bermuatan politis dan ideologis, sehingga cenderung menjauh dari sejarah kritis dan tidak mengakui keberagaman pandangan dalam konstruksi dan pemaknaan terhadap masa lalu. Selain itu, yang paling mendasar ialah ketidakmampuan generasi awal untuk menghadirkan sejarah yang lebih manusiawi. Contohnya karya Muhammad Yamin dan Soekanto di atas yang menggambarkan Diponegoro dan Sentot sebagai seorang tokoh yang sempurna dan pahlawan yang telah berjasa dalam usaha mempersatukan bangsa maupun perjuangan nasional Indonesia, tanpa perlu melihat konteks waktu, ruang dari peristiwa itu dan realitas kemanusiaan dari kedua tokoh tersebut. Padahal secara logika historis, kedua tokoh yang ada pada saat itu belum mengenal kata “Indonesia”. Begitu juga dengan realitas kemanusiaan kedua tokoh, Diponegoro dan Sentot sebagai manusia tidak mungkin mencapai kesempurnaan karena tidak mungkin untuk dipungkiri adanya elemen negatif dalam dirinya.
    Permasalahan canon semakin berlanjut, ketika dalam perkembangan penulisan sejarah berikutnya telah berubah menjadi dogmatik yang membentuk cara berpikir sempit dan seragam dalam merekonstruksi masa lalu Indonesia. Hal ini tercermin dari karya-karya generasi sejarawan berikutnya yang juga menitikberatkan pada penjelasan canon nasionalisme dan patriotisme yang selalu dimainkan oleh orang-orang besar. Contohnya buku Napitupulu (1972) yang berjudul “Perang Batak Perang Sisingamangaraja” dan Sijabat (1982), “Ahu Si Singamangaraja”. Kedua buku ini pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan karya Muhammad Yamin. Selain bersifat ultra nasionalis, karya Napitupulu dan Sijabat juga menafikkan realitas kemanusiaan Sisingamangaraja. Sisingamangaraja dideskripsikan sebagai seorang pahlawan dalam perjuangan kemerdekaan yang direpresentasi sebagai nasionalisme Indonesia. Dari dua karya ini, hampir tidak tampak elemen negatif yang dimiliki Sisingamangaraja sebagai seorang manusia. Permasalahan yang sama juga tampak ketika semua sejarawan Indonesia seolah-olah sepakat memasukkan Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien dari Aceh, Patimura dari Maluku, Hassanuddin dari Makasar, Imam Bonjol dan Sultan Agung sebagai pahlawan nasional yang berjuang melawan Belanda. 
    Sebuah harapan baru sebenarnya muncul ketika Sartono Kartodirdjo dengan studinya tentang pemberontakan petani Banten telah berhasil menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial atau pendekatan multidimensional dalam metodologi sejarah. Kerangka metodologis ini kemudian berkembang dalam dunia akademis. Di satu sisi, Sartono telah berhasil membentuk perspektif baru dalam kajian sejarah Indonesia dengan menghadirkan masyarakat kebanyakan. Namun dalam beberapa hal, Sartono masih terjebak dengan pola pikir lama. Dimana studi Sartono masih terjebak pada determinasi eksploitasi ekonomi kolonial. Hal ini tampak pada canon yang dibangun oleh Sartono dalam studinya, yakni petani adalah rakyat yang ditindas. Canon yang dibangun Sartono dalam studinya itu cenderung menafikkan realitas kemanusiaan petani. Padahal secara manusiawi, petani juga mungkin melakukan penindasan.
      Begitu juga halnya dengan karya Lapian (1987), “Orang Laut-Bajak Laut : Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Pada Abad XIX” dan karya Suhartono (1991), “Apanage dan Bekel : Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1930. Dari dua karya itu, bajak laut dan bandit pedesaan digambarkan sebagai pahlawan karena aktivitas mereka yang banyak merugikan pemerintah kolonial. Dari cara pandang itu, ada kesan kuat dari Lapian dan Suhartono untuk membentuk canon nasionalisme melalui kepahlawanan bandit dan bajak laut. Namun menurut Purwanto (2006), walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa proses marginalisasi terhadap penduduk sebagai akibat dari perluasan kekuasaan kolonial telah menimbulkan berbagai bentuk perlawanan, tetapi tidaklah semua bajak laut dan bandit pedesaan adalah musuh penguasa kolonial, bahkan sebagian dari mereka tidak berhubungan atau justru bekerja untuk pemerintah kolonial. Selain itu, bajak laut dan bandit pedesaan juga tidak dapat lepas dari realitasnya sebagai kriminal yang merampok siapa saja. Dengan demikian, canon kepahlawanan (patriotisme) dan nasionalisme yang dibangun Suhartono dan Lapian cenderung menafikkan proses sejarah yang dilalui bandit pedesaan dan bajak laut sebagai kriminal.
    Politisasi dan ideologisasi terhadap penulisan sejarah juga tampak kuat pada historiografi versi Orde Baru. Canon yang paling menonjol dalam historiografi versi Orde Baru ialah patriotisme Suharto dan militer dalam mempertahankan integrasi bangsa yang direpresentasi sebagai bentuk nasionalisme. Hal ini tampak jelas pada peristiwa sejarah Gerakan 30 September yang dimuat dalam buku “Konsensus Nasional 1966-1969” yang ditulis oleh Nugroho Notosusanto dan buku “Sejarah Nasional Indonesia” yang juga dieditori Nugroho Notosusanto. Kedua buku ini memaparkan secara terbuka bagaimana patriotisme Suharto dan militer dalam meredam krisis 30 September 1965, dengan menyalahkan PKI (Partai Komunis Indonesia) sebagai dalang dari gerakan tersebut. Buku itu juga memaparkan secara terbuka bagaimana Soeharto dan militer meraih tahta kekuasan Indonesia dengan mencari kekuatan legitimasinya melalui krisis 30 September 1965, dan melekatkannya dengan aspirasi rakyat untuk menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen yang juga dimobilisasi oleh militer.
    Begitu juga halnya dengan buku “Pejuang dan Prajurit” (1984) yang ditulis Nugroho Notosusanto. Dalam buku ini, lagi-lagi militer dilukiskan menjadi kekuatan satu-satunya bagi keberlanjutan perjalanan bangsa ini. Buku ini juga menggambarkan bagaimana komunisme sebagai suatu ideologi dan PKI sebagai organisasi yang berbahaya bagi integrasi bangsa, sehingga membutuhkan sentuhan militer agar Indonesia menjadi tentram kembali. Dapat juga dikatakan bahwa buku inilah satu-satunya yang tersebar luas di masyarakat tentang kajian dwi fungsi ABRI secara komprehensif, sekaligus didalamnya merupakan bagunan sejarah yang menjadikan militer sebagai penentu masa lalu, juga masa depan bangsa.
    Dari buku-buku sejarah versi Orde Baru di atas tampak jelas bagaimana narasi sejarah tunggal atau seragam telah membangun canon yang berguna untuk kepentingan Orde Baru dan militer, yakni 1) Sebagai legitimasi naiknya Orde Baru ke panggung politik guna memimpin Indonesia dengan cara memproduksi versi peristiwa Gerakan 30 September yang tabu untuk diperdebatkan selama Suharto memimpin. 2) Sebagai pengokohan kekuatan militer di Indonesia dengan menempatkan militer sebagai penyelamat bangsa dan penjaga stabilitas politik dan ekonomi republik ini. Orde Baru dan militer dalam narasi sejarah nasional versi Orde Baru diinterpretasikan dalam seragam yang sama. Dengan kata lain, sejarah yang dibangun adalah untuk melegitimasi rezim, baik itu Orde Baru maupun kolektivitas militer. Keduanya dapat diberi garis pembeda, tetapi tidak dapat dipisahkan. Bilamana berbicara tentang Orde Baru, maka ada militer didalamnya, dan militer merupakan bagian dari kekuatan Orde Baru.
    Dari paparan di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sejak awal sampai Orde Baru, historiografi Indonesia cenderung untuk membangun canon nasionalisme dan patriotisme dengan menjadikan penulisan sejarah sebagai alat penghujat dan menggunakan masa lalu sebagai tameng pembenaran. Ketika Indonesia merdeka, pusat dan pemeran utama dalam historiografi yang tadinya ditempati Belanda oleh sejarawan Indonesia posisinya dibalik, dengan mengikuti pola-pola yang dibuat oleh sejarawan kolonial. Jika sebelumnya Belanda merupakan pemberadab, sekarang ditempatkan sebagai orang-orang biadab yang merampok, menjajah, dan mengeksploitasi Indonesia. Setiap penentang Belanda, baik untuk kepentingannya sendiri maupun orang banyak, demi hajat lokal atau nasional, dianggap sebagai pahlawan. Setelah Orde Lama turun dan digantikan Orde Baru, pemeran utama dalam historiografi nasional menjadi bergeser lagi. Orde Lama dianggap gagal mempertahankan bangsa dan negara, sedangkan Soeharto (Orde Baru dan militer) adalah juru selamatnya.
    Cara pandang di atas mengakibatkan sebagian besar pemahaman tentang sejarah Indonesia cenderung anakronis, karena hanya menempatkan peristiwa besar, tokoh-tokoh besar dan institusi dalam proses sejarah Indonesia. Penulisan sejarah yang cenderung menitikberatkan kepada canon nasional tidak hanya menafikkan realitas kemanusiaan dari tokoh-tokoh yang dikonstruksi dalam penulisan sejarah, tetapi juga tidak mampu mengahdirkan menghadirkan masa lalu rakyat secara optimal dan tidak memberi ruang pada sejarah mikro atau sejarah kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan paparan di atas, maka dapat dikatakan bahwa canon yang dibangun oleh tradisi penulisan sejarah cenderung anakronis. Indonesia Betapa tidak, tokoh-tokoh yang digambarkan sebagai pahlawan dalam perjuangan kemerdekaan dan mempertahankan integritas bangsa sebenarnya juga dapat dikatakan sebagai pemberontak, jika cara pandang dalam melihat aktivitas mereka sebagai bentuk pemberontakan terhadap pemerintahan yang berkuasa. Bahkan bukti-bukti yang ada juga menunjukkan bahwa proses sejarah tokoh-tokoh yang dideskripsikan sebagai pahlawan tidak hanya dapat dikaitkan dengan perlawanan terhadap kolonialisme, tetapi juga terkait dengan dinamika internal dalam masyarakat, dimana adanya konflik atau persaingan horizontal yang melibatkan tokoh-tokoh di atas dengan kelompok sosial lain di dalam masyarakat setempat. Dengan demikian, bukti-bukti itu semakin menguatkan bahwa proses sejarah tokoh-tokoh di atas tidak hanya dapat ditulis sebagai seorang pahlawan, tetapi juga pemberontak. Oleh sebab itu, dalam penulisan sejarah Diponogoro, Sisingamangaraja, Teuku Umar, Iman Bonjol dan Hasanuddin, tidak harus mengikuti perpektif canon lama (old canon) yang cenderung mendeskripsikan tokoh-tokoh itu sebagai pahlawan, tetapi dapat memunculkan canon baru (new canon) yang menggambarkan mereka sebagai pemberontak tanpa mengucilkan nilai-nilai kepahlawanannya.
    Berdasarkan cara berpikir di atas, maka hal yang sama juga dapat dilakukan terhadap tokoh-tokoh yang dideskripsikan sebagai pemberontak oleh tradisi penulisan sejarah nasional. Kahar Mujakar dan Kolonel Simbolon misalnya, kedua tokoh itu dalam historiografi Indonesiasentris dianggap sebagai pemberontak yang mengancam integrasi negara. Namun dari bukti-bukti yang ada, pemberontakan kedua tokoh itu menunjukkan adanya konflik internal antara lokal dan pusat, dimana Kahar Mujakar dan Simbolon menuntut diberikannya otonomi daerah karena ada ketimpangan diantara pusat dan lokal. Bagi pemerintah pusat, Kahar Mujakar dan Simbolon adalah seorang pemberontak sehingga dalam penulisan sejarah nasional, kedua tokoh itu harus dikonstruksi sebagai seorang pemberontak. Namun bagi masyarakat di daerah, Kahar Mujakar dan Simbolon justru dianggap sebagai tokoh yang memperjuangkan aspirasi mereka terhadap pemerintah pusat. Dengan begitu, dalam penulisan sejarah baru tentang Kahar Mujakar dan Simbolon, dapat dimunculkan canon baru (new canon) yang mendeskripsikan nilai-nilai perjuangannya untuk kepentingan masyarakat lokal, tanpa harus menghilangkan pemberontakannya terhadap pemerintah pusat. Hal yang sama juga dapat dilakukan terhadap D.N Aidit dengan melihat realitas kemanusiaannya. Dimana sebagai seorang manusia, D.N Aidit tidaklah sejahat yang dideskripsikan dalam historiografi nasional karena Aidit juga memiliki elemen positif dalam dirinya, walau sekalipun dalam lingkup yang kecil.

Penutup
    Dengan perspektif di atas, maka penulisan sejarah akan tampak lebih manusiawi, dimana tidak ada ketimpangan dalam menghadirkan realitas kemanusiaan seseorang. Walaupun penulisan sejarah yang berkembang dewasa ini telah membentuk wacana dan sejarah alternatif sebagai reaksi terhadap politik dan dogmatik militer dan Orde Baru sebagai sebuah rezim, tetapi dalam kenyataannya masih menggunakan cara berpikir lama untuk menuliskan sejarah yang berbeda. Apa yang baik pada sejarah lama seakan-akan menjadi sesuatu yang buruk dalam sejarah yang berkembang akhir-akhir ini. Dalam arti, mengabaikan sejarah dari orang yang dulu dianggap sebagai penindas. Maka tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa sebagian besar penulisan sejarah dewasa ini sebenarnya masih mengikuti canon yang serupa dengan generasi sebelumnya. Oleh sebab itu, agar tidak terjebak dalam anakronisme yang sama, maka tidak berlebihan jika mengatakan bahwa perspektif sejarah yang manusiawi, dimana tidak ada ketimpangan dalam menghadirkan realitas, dianggap perlu untuk dikembangkan dalam tradisi penulisan sejarah di Indonesia. 
    “National canons rely on the nation as the self-evident bedrock of historical reality” (Stuurman dan Grever : 2007). Tidak salah jika kita mengatakan bahwa pernyataan Siep Stuurman dan Maria Grever tersebut juga berlaku bagi tradisi penulisan sejarah Indonesia. Hal ini tampak pada canon nasionalisme yang cenderung dimunculkan dalam karya-karya sejarawan dari generasi ke generasi. Namun, satu hal yang perlu dicatat bahwa canon

nasionalisme yang dimunculkan dalam penulisan sejarah di Indonesia itu cenderung menghadirkan peristiwa besar yang menitikberatkan pada penjelasan politik dan tokoh-tokoh besar yang terlalu menitikberatkan pada penjelasan politis dan ideologis, sehingga tidak mampu menghadirkan masa lalu rakyat secara optimal dan tidak memberi ruang pada sejarah mikro atau sejarah kehidupan sehari-hari dan sejarah yang manusiawi. Oleh sebab itu, untuk memunculkan canon baru (new canon) diperlukan keberagaman eksplanasi dan keberagaman epistimologi dalam tradisi penulisan sejarah Indonesia. Dengan keberagaman maka akan terbangun secara struktur ilmu sejarah yang kokoh.



Daftar Pustaka

A.B Lapian    1987    Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut : Sejarah Kawasan laut            SulawesiPada Abad XIX. Universitas Gadjah Mada : Yogyakarta
Bambang Purwanto    2006    Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?! Ombak : Yogyakarta
Muhammad Yamin    1952    Sedjarah Peperangan Dipanegara: Pahlawan Kemerdekaan Indonesia. Jajasan pembangunan : Djakarta
Nugroho Notosusanto    1985    Tercapainya Konsensus Nasional 1966-1969. Balai Pustaka : Jakarta
O.L Napitupulu    1972    Perang Batak Perang Sisingamangaraja. Yayasan Pahlawan Nasional  Jakarta
R. Moh. Ali 2005    Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia. LKiS : Yogyakarta
Sartono Kartodirdjo    1966    The Peasent’s Revolt of Banten in 1888, Its Condition, Course, Sequel     : A Case Study of Social Movement In Indonesia. Martinus Nijhoft :     Gravenhage
Siep Stuurman dan Maria Grever    2007    Beyond the Canon : History for the Twenty-First Century. Palgrave Mc Millon
Suhartono    1991    Apanage dan Bekel : Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1930. Tiara Wacana : Yogyakarta

PAGURAWAN-BATUBARA abad 19

PAGURAWAN
BATUBARA ABAD 19
oleh
Yushar

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejarah awal  bandar perdagangan Pagurawan. Mengetahui faktor-faktor  yang menyebabkan Pagurawan  menjadi bandar Perdagangan. Mengetahui dampak keberadaannya bagi masyarakat sekitar dalam bidang politik, ekonomi dan sosial. Dari hasil penelitian diperoleh informasi  bahwa  bandar perdagangan Pagurawan dibuka oleh Datuk Muhammad Idris yang bermula dari sebuah perkampungan Selanjutnya menjadi sebuah unit politik yang dipimpin secara turun temurun . Sebagai unit kekuasaan daerah ini menjadi tempat transit para pedagang dari dan ke pedalaman Simalungun para pedagang dari pedalaman menjadikannya  tempat kegiatan perdagangan yang mendapat perlindungan dari penguasa bandar  Pagurawan dipimpin oleh Datuk Muhammad Idris, Datuk Seri Batara, Datuk Setia Wangsa, Datuk Setia Maharaja Lela dan terakhir Datuk Setia Putera Raja
Kata kunci;Pagurawan ,Batubara abad 19
*Pengajar Jur.Pend.Sejarah FIS UNIMED

1. PENDAHULUAN
Manusia yang selalu berinteraksi satu dengan yang lain sejak dahulu sampai sekarang  hubungan kerjasama yang dilakukan ada yang bersifat lokal maupun kerjasama dengan daerah lain. Salah satu bentuk hubungan kerjasama yang sering terjadi diantara manusia adalah hubungan ekonomi yang berkaitan dengnan memenuhi kebutuhan hidup sehari-harig. yang kemudian berkembang menjadi hubungan politik , hubungan politik ini terimplementasi dalam bentuk perlindungan kegiatan perdagangana, sehingga dimungkinkan untuk melakukan transaksi  ke daerah  yang lebih jauh berkat perlindungan keamanan .Keamanan yang terjamin  mengakibatkan  ramainya masyarakat melakukan kegiatan niaga sehingga menumbuhkembangkan kegiatan perdagangan Ramainya kegiatan perdagangan mendorong pertumbuhan dan perkembangan bandar Pagurawan. Interaksi dengan masyarakat di kawasan pedalaman semakin lancar dan membuka isolasionisme daerah pedalaman yang dihunietnis Simalungun.
Sebelum alat transportasi darat seperti sekarang yang memudahkan proses perdagangan, kegiatan perdagangan selalu berkutat pada suatu bandar (pelabuhan). Bandar merupakan tempat interaksi menukar barang dagangan dengan barang yang dibutuhkan. Perdagangan juga memiliki rute-rute tertentu yang sering dilewati oleh para pedagang. Rute perdagangan juga melewati daerah Batu Bara dengan salah satu bandarnya adalah bandar perdagangan Pagurawan. yang memiliki keadaan alam cukup baik, muara kuala lebar dan alur kualanya cukup dalam mempermudah tongkang dan perahu-perahu besar  keluar masuk
Pada awalnya Pagurawan merupakan kawasan pematang (tanah tinggi), yang memiliki keistimewaan yakni jarak antara laut dengan sungai sangat dekat. Sehingga mudah dijangkau setiap kapal yang mau merapat. Letak yang strategis menjadikan bandar Pagurawan sebagai alternatif pusat kegiatan perekonmian berdampingan dengan  beberapa kampung lainnya seperti Nenas Siam, Kampung Bogak, Kampung Durian. Limau Kapas, Megung dan Perkandangan.Penghidupan pokoknya masyarakatnya bertani  menanam padi untuk kelangsungan hidup  .Kemudian bermukim warga nelayan yang terhalang pulang ke daerahnya karena berbagtai hal seperti angin kencang,  Di bandar ini terdapat cadangan makanan, yang mencukupi kehidupan para nelayan yang tidak bisa pulang, begitu juga dengan pendatang-pendatang dari Simalungun.maka jadilah tempat ini jadi persinggahan . akhirnya tersebarlah berita kemana-mana yang membuat kampung tersebut ramai dan  menjadi sebuah bandar perdagangan yang pada gilirannya terjalinlah hubungan sosial, ekonomi dan politik di kawasan ini .Ramainya kegiatan perdagangani membuat Kerajaan Simalungun, Siantar, Raya dan Bandar datang membawa barang dagangannya dan meramaikan perniagaan di sini dengan komoditi masing-masing seperti rotan , jaronang, damar, lilin, rambung merah, getah mayang dan lain-lain. kunjungi  perahu-perahu besar dan tongkang-tongkang yang  merupakan angkutan  populer masa ini menjadikan Pagurawan semakin ramai
           Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejarah awal tentang bandar perdagangan Pagurawan. Serta bagaimana pertumbuhan dan perkembangan nya.Dengan metode heuristik direkostruksi sejarah bandar perdaganghan ini secara deskriptif  kwalitatip

2.    PEMBAHASAN
2.1 Bandar atau Pelabuhan
Ketika dilakukannya suatu hubungan transportasi ataupun perdagangan yang menggunakan jalur laut, maka kita akan berkaitan dengan bandar (pelabuhan). Karena jalur laut akan tetap menjadi pilihan dari hubungan setiap daerah bahkan Negara. Dan yang berperan sebagai tempat transit atau tempat mendarat adalah bandar. Menurut Osthoff  dalam Asnan (2007:284-285) menyatakan bahwa :
“Pelabuhan adalah tempat kapal dan perahu merapat, membongkar dan memuatnya. Pada periode 1819 – 1847 kondisi pelabuhan yang ada di pantai barat sangat sederhana. Apa yang dinamakan pelabuhan pada waktu itu sering hanya berupa dermaga kecil yang hampir tidak dilengkapi dengan prasarana yang memadai. Bahkan tidak jarang dilaporkan bahwa yang dinamakan pelabuhan itu hanya sebuah teluk kecil dimana kapal dapat membuang jangkar. Kemudian dari kapal menuju pantai mesti menggunakan perahu. Pada kesempatan lain apa yang dinamakan pelabuhan itu hanya berupa muara sungai. Kadang-kadang kapal /perahu bisa merapat kepinggirnya namun sering kapal/perahu yang sedikit besar mesti buang jangkar ditengah sungai. Untuk menurunkan dan menaikan barang dan penumpang mesti menggunakan perahu yang lebih kecil.”

Jadi  bandar (pelabuhan) hanyalah sebuah dermaga kecil untuk merapatkan kapal. Berbeda jauh dengan yang ada pada saat ini. Tidak jarang bahwa kapal besar atau kapal induk tidak dapat mencapai dermaga tetapi untuk mancapai dermaga digunakan perahu kecil atau sampan kecil. Begitulah pula bandar perdangaan Pagurawan yang dahulunya hanya sebagai tempat persinggahan para nelayan yang ingin membuang jangkar. Perret l (2010 : 97) bahwa bandar selalu dikaitkan dengan proses perdagangan, dimana bandar diartikan sebagai tempat orang dari dataran rendah berdagang dengan orang dari dataran tinggi.
Namun secara pratikal pelabuhan dibentuk karena amat memungkinkan adanya kebutuhan oleh pengguna jasa angkutan, berkenaan dengan adanya arus perdagangan yang akan dipindahalihkan atau diperjualbelikan melalui transportasi kelautan. Seperti yang dinyatakan oleh Sudjana (1996:177) bahwa “ Pelabuhan dibentuk tidak hanya karena memiliki berbagai aspek yang dilatarbelakangi oleh kekuasaan, politik , ekonomi, budaya dan sampai kepada masalah keamanan serta pertahanan”.
    Bandar  berkaitan dengan perdagangan.  Aston (2007:143)  dalam Asnan
“Jaringan perdagangan adalah proses sosial yang terjadi ketika berlangsungnya proses tukar menukar barang antara para pelaku perdangan yang mencakup penduduk atau saudagar pribumi, timur asing dan mancanegara yang berlangsung pada beberapa kawasan dipantai barat. Jaringan perdagangan akan ada bila kegiatan perdagangan itu berlangsung antara dua daerah.”
Dari pernyataan di atas maka perdagangan adalah kegiatan yang dilakukan oleh para pedagang untuk tukar menukar barang dengan para penduduk yang memerlukan barang yang sesuai dengan kebutuhannya. Lalu perdagangan ini dilakukan oleh pedagang lokal maupun pedagang asing. Begitu pula dengan masyarakat Pagurawan yang memiliki sumber alam yang baik untuk diperdagangkan dengan para pendatang-pendatang yang melakukan perdagangan.
Seperti pedagang-pedagang Bugis, perkembangan dan kemajuan dalam perdagangan di Nusantara ini juga diwarnai oleh pedagang-pedagang dari Melayu, Ternate juga Tidore. Mereka mempunyai keunggulan dalam perdagangan seperti yang dinyatakan oleh Poelinggomangi (1997: 151) dalam  Nurcahyani bahwa:
Melayu, Ternate dan Tidore mempunyai keunggulan dalam perdagangan yakni; 1) menganut prinsip laut bebas dan menyelenggarkan perdagangan dengan bebas,     2) memiliki sikap keras, gigih dan tidak mengenal kata menyerah dalam melakaukan kegiatan perdagangan, 3) menjalin hubungan yang baik dengan penguasa dan ulama, 4) selalu menempati janji dalam melakukan hubungan kerjasama dalam perdagangan, 5) menjadikan pelabuhan sebagai pusat ekonomi
    Faktor-faktor inilah yang mendasari mereka sebagai pedagang yang mempunyai peranan penting dalam perdagangan laut di Indonesia. Kemudian perdagangan ini memiliki jalur perdagangan yang disepakati oleh para pedagang. Seperti yang dinyatakan oleh Asnan (2007:144) bahwa:
“Sepanjang abad ke 19 setidaknya terdapat jalur niaga yang merupakan urat nadi utama jaringan perdagangan antara daerah pesisir dan pendalaman. Tiga diantaranya berada dikawasan utara( noordelijke afdeeling), dan lima berada dikawasan selatan (zuideeling afdeeling). Tiga jaringan perdagangan diutara adalah 1) rute antara kawasan singkel dan barus dengan daerah pak-pak, 2) rute antara sibolga dengan angkola 3) rute antara natal dan pendalaman maindeling. 5) jaringan perdangan di selatan adalah 1) rute antara lain bangis dan rao, 2) tiku dengan agam, 3) pariaman dengan tanah datar, padang dengan tanah datar dan solok, 5) bandar X dengan solok selatan.
Maka dari penjelasan diatas ada beberapa jalur perdagangan yang telah menjadi rute tetap antara pedagang lokal maupun pedagang asing. Tentunya setiap daerah jalur perdagangan pasti memiliki sumber daya alam yang menjadi komoditas utama yang diperlukan oleh pedagang lainnya. Atau tidak ada di daerah lain tetapi hanya ada di daerah tertentu saja.
Bandar berkaitan dengan perdagangan dan kerjasama dengan bangsa asing maupun lokal.kerjasama  dilakukan untuk memperoleh keuntungan,i Groenevelt (1999: 60) dalam Nurcahyani :
“Orang-orang Cina yang pertama kali melakukan pelayaran ke Asia Tenggara tidak membawa misi untuk Negara mereka hanya sebagai pertualang. Namun lama kelamaan setelah mereka mengenal satu sama lain, mulailah mereka mengadakan kontak hubungan yang erat berupa kerjasama dalam perdagangan”
    Jadi dapat disimpulkan bahwa pada awalnya para pelayar hanya ingin bertualang, i setelah terjalin hubungan yang erat maka terjalin kerjasama dalam memperdagangkan barang dagangannya, begitu pula dengan para pedagang baik dari lokal maupun asing yang datang ke bandar Perdagangan Pagurawan, awalnya hanya untuk  pesinggahan , lama kelamaan terjalin hubungan  erat apatah lagi  bandar  memiliki sumber alam yang besar sehingga wajar terjalin kerja sama diantara mereka,Leirissa (1995: 26) menyatakan:
Para pedagang asing membutuhkan rempah-rempah, barang khas Indonesia dan bahan makanan, sebaliknya pedagang Indonesia membutuhkan barang-barang yang tidak terdapat atau belum dapat dibuat Indonesia dimana Perdagangan merupakan salah satu ciri perkembangan dan kemajuan kehidupan masyarakat.
    Saling membutuhkan adalah konsekwensi logis dari adanya perhubungan antar masyarakat dalam bentuk perdagangan kerjasama antara para pedagang lokal maupun asing membuat kehidupan masyarakat lebih maju karena satu sama lain memperoleh keuntungan. Seperti yan gterjalin terjalin  di bandar perdagangan Pagurawan.
2.2    Sejarah  Bandar Perdagangan Pagurawan
Sejarah Bandar Perdagangan Pagurawan tidak terlepas dari Kerajaan Pesisir. Karena Kerajaan Pesisir berada di daerah Batubara. Kemudian Kerajaan Pesisir merupakan salah satu kerajaan bercorak Melayu yang pernah tumbuh dan berkembang di Sumatra Timur. Kerajaan Pesisir ini termasuk wilayah hukum daerah Batu Bara, dimana Kerajaan Pesisir di pimpin oleh Datuk Panglima Muda : Tahir (2008 : 196) menyatakan
“Pada tahun 1723 di kerajaan Pesisir Batu Bara di pimpin oleh seorang Raja bergelar Datuk Panglima Muda mempunyai 3 orang Putera yakni :Datuk Muda Jalil, Datuk Mhd Idris bergelar Datuk Pemuncak, dan Datuk Muda Husin. Datuk panglima Muda Raja Kerajaan Pesisir Batu Bara ini suka mengembara ke Timur dan ke Barat sambil membawa barang dagangannya bahkan sampai ke negeri-negeri Semenanjung tanah Melayu. Oleh itu sebelum ia mangkat telah melantik puteranya Datuk Muda Jalil sebagai penggantinya menjadi Raja di Kerajaan Pesisir dan Datuk Muda Husin sebagai penolong membantu abangnya.”
.
Pagurawan merupakan suatu perkampungan yang sangat strategis yang terletak di bibir pantai Timur Sumatera Utara tepi selat Malaka , sangat cocok untuk daerah persinggahan yang menghubungkan Utara dan Selatan  Tahir (2008 : 144) mendeskripsikan batapa bandar ini begitu strategis :
“Dimana pendatang-pendatang baru yang datang dari luar seperti dari Pagaruyung Batu Sangkar, Minangkabau, Kampar, atau Siak dan lain-lain yang bersama-sama di kawasan dan masuk dalam wilayah hukum Batu Bara telah berminat memberi nama kawasan yang baru dibuka mengikuti citarasa masing-masing. Nama-nama negeri yang baru diwujudkan itu adalah seperti berikut :” Lima Puluh, Tanah Datar, Pesisir, Lima Laras, Labuhan Ruku, Tanjung Bungo, Sontang, Simpangdolok, Dolik, Talawi, Bogak, Bagan Luar, Bagan Dalam, Pasar Rabuk, Tanjung Tiram, Ujung Kubu, Guntung, Paya Kumbuh, Pesisir Dahari Selebar, Padang Genting, Kampung Panjang, Sijamnyut, Pematang Panjang, Kampung Lalang, Prupuk, Sibulan-bulan, Simpang Sianam, Kg Tualang, Titi Putih, Titi Merah, Lubuk Besar, Kampung Kodah, Nibung Angus, Telaga Tujuh, Gambus Laut, Kayu Ara, Kampung Nipah, Pahang, Simpang Gambus, Tanah Gambus, Pematang Kapau, Barung-barung, Air Hitam, Kuala Gunung, Sungai Sijintan, Pulau Besar, Ahad Lama, Kelubi, Penaga, Dolik Empat Negeri, Tiga Negeri, Limau Putih, Tasak, Simpang Medang Deras, Nenas Siam, Inderapura, Sungai Pimpin, Kelombis, Sipare-pare, Kuala Tanjung, Tanjung Kasau dan Pagurawan.”
Datuk Muda Idris yang mencari tapak baru setelah  Datuk Muda Jalil ditabalkan menggantikan ayahandanya , berusaha mendapatkan daerah baru untuk pemukiman .Dalam proses perncarian itu beliau menemukan beberapa tempat yang layak setelah menelusuri beberapa kuala .Tahir (2008 : 197) bahwa :
“Datuk Muhammad Idris berhasrat keluar dari Pesisir mencari tapak baru untuk dijadikan perkampungan . Berkat dorongan semangat dan nasihat dari   rombongan perahunya telah menyelusuri pantai Timur Sumatera Timur, beberapa kuala telah dilalui, yaitu:
1.    Kuala Perupuk (Pantai Sejarah)
2.    Kuala Sungai Mati
3.    Kuala Sungai Tanjung
4.    Kuala Sungai Pare-pare

 “ Kemudian sampailah pula ke Kuala Pagurawan, maka berkenanlah hatinya terhadap kuala ini untuk dijadikan kampung, karena keadaan alamnya yang cukup baik, muara kualanya lebar, dan alur kualanya cukup dalam membolehkan tongkang dan perahu-perahu besar senang untuk keluar masuk.”
Dapat dijelaskan bahwa setelah Datuk Muhammad Idris sampai di Kuala Pagurawan, beliau tertarik untuk membuka perkampungan sekaligus sebagai bandar perdagangan. Ada beberapa hal yang mendorong beliau memilih lokasi ini sebagai tempat bertapakak letak kuala Pagurawan yang strategis, dan memiliki keadaan alam yang baik dan subur untuk disinggahi oleh para pedagang dari daerah lain. Kemudian kuala Pagurawan ini memiliki muara yang lebar dan kedalaman yang cukup untuk dimasuki oleh tongkang dan perahu-perahu yang dibawa oleh pedagang dari daerah lain. Sehingga memudahkan kapal-kapal untuk keluar-masuk untuk berlabuh. Hal ini  dipertegas oleh OK Jera’in (kamis 17 Juni 2010 ) bahwa Pagurawan memiliki muara yang lebar dan kedalaman yang cukup untuk para pedagang untuk keluar masuk Pagurawan.
Lebih lanjut dinyatakan oleh Tahir (2008 : 198):
“Disebelah kanan sungai tersebut ada beberapa anak sungai yaitu sungai Keresek, sungai Ceremai, sungai Cempedak. Disebelah kiri pula dijumpai beberapa anak sungai yaitu sungai Api-api, sungai Oru, sungai Kelapa. Mudik lagi ke hulu dijumpai pula disebelah kanan sebuah anak sungai dan dua pondok nelayan pencari kepah, kerinting, kepah dibawanya mudik ke hulu tangga besi ke daerah Simalungun, dijualnya ke Bandar Khalifah sampai ke hulu sungai padang Tebing Tinggi”.
Letak Kuala Pagurawan ini dikelilingi oleh anak-anak sungai yang mendukung Pagurawan menjadi bandar perdagangan. Anak sungai yang di sebelah kanan yaitu sungai Keresek, sungai Ceramai, sungai Cempedak. Kemudian di sebelah kiri yaitu sungai Api-api, sungai Oru, sungai Kelapa. Kemudian ada pondok nelayan pencari kepah dan membawa hasil tangkapannya untuk dijual di daerah Bandar Khalifah dan hulu sungai Padang Tebing Tinggi.
Datuk Muhammad Idris dan rombongannya masih meneruskan pelayarannya mudik ke hulu sehingga berjumpa pula di sebelah kiri dengan kawasan pemantang (Tanah Tinggi), akhirnya mereka berlabuh  untuk melihat keadaan kawasan itu. Datuk Muhammad Idris membuat sebuah perkampungan yang lama kelamaan  menjadi ramai dengan proses perdagangan yang terjadi diantara orang-orang Simalungun dengan masyarakat pagurawan.Selanjutnya Tahir (2008: 198) ‘ Semua rakyat negeri itu diarahkan membuka sawah dan bercocok tanam. menanam padi serta bercocok tanam temasuk juga tanaman-tanaman keras seperti kelapa, rumpiah, nipah, lada dan segala jenis buah-buahan’. Dengan hasil tanaman keras maka dapatlah terwujud satu lumbung padi, tujuannya adalah untuk membantu pendatang-pendatang baru dan para musafir. Penduduk dikampung baru itu kian hari semakin bertambah ramai pula dan semua rakyat tetap taat setia kepada raja mereka Datuk Muhammad Idris bergelar Datuk Pemuncak.”
Setelah dibukanya Kuala Pagurawan oleh Datuk Muhammad Idris,Pagurawan menjadi perkampungan,i ramai didatangi oleh para pedagang kemudian tidak sedikit yang menetap di daerah  dan membuka lahan atau reba hutan  di sekitar Pagurawan.untuk lahan pertanian padi . Dengan dilaksanakan kebijakan ini  Pagurawan memiliki lumbung padi yang berguna untuk cadangan makanan para pedagang dan musafir yang singgah. Sehingga kampung Pagurawan menjadi semakin berkembang Perkembangan ini mendorong terbentuknya struktur kekuasaan untuk mengendalikan daerah ini secara organisatorik. Adalah merupakan keniscayaan bahwan Datuk Idris sebagai penggagas  pembuka kampung menjadi pemimpin daerah baru ini apatah lagi beliau memang keturunan darah biru bangsawan tinggi sebuah kerajaan Beliau bergelar  Datuk Pamuncak.
Labih lanjut Tahir mengatakan (2008 : 199) bahwa :
“Kemudian Datuk Muhammad Idris (Datuk Pemuncak) bersama putera Muhammad Nuh yang kelak bergelar Datuk Seri Batara telah mengistisarkan untuk mengadakan satu majelis jamuan. Maka diundanglah semua rakyat dan raja-raja luar seperti:
3.1    Raja Siantar
3.2    Raja Raya
3.3    Raja Pematang Tanah Jawa
3.4    Raja Pematang Bandar
 Datuk Muhammad Idris memiliki seorang anak laki-laki yang bernama Muhammad Nuh yang bergelar Datuk seri Batara. Kemudian Datuk Muhammad Idris dan Muhammad Nuh mengadakan satu majelis jamuan makan ,dalam jamuan tersebut diundang semua rakyat dan raja tetangga seperti : Raja Siantar, Raja Raya, Raja Pematang Tanah Jawa, Raja Pematang Bandar.”r karena sangat gembira mereka “bermain dan bergurau” maka disebutlah nama negeri itu “Pagurowan” lama kelamaan menjadi “ Pagurawan (Sinar.136).diperjelas lagi oleh Ok Jera’in ( Kamis, 17 Juni 2010) bahwa Nama Pagurawan di buat karena orang-orang yang di Pagurawan suka bergurau (bercanda), maka dibuatlah nama kampung ini menjadi Pagurawan (Pergurauan) sekitar abad 19.”
Demikianlah dari majlis perhelatann yang digagas oleh Datuk Idris muncullah nama perkampungan baru sebagai bandar perdagangan sekaligus pusat pemeritahan Dengan dinamakannya majelis ini dengan majelis pergurauan, maka nama perkampungan yang dibuka oleh Datuk Muhammad Idris disebut dengan kampung Pagurawan.Seperti yang dinyatakan oleh Sinar ( TT :2002 134) bahwa “Tahun 1823 Jonh Anderson seorang, pegawai tinggi Gubernur Inggris di Penang telah  mencatat negeri-negeri dibeberapa kuala sungai  ketika mengadakan kunjungan ke Kerajaan-kerajaan pantai di Sumatera Timur, seperti tercatat dalam  bukunya “Mission to the Eastcoast of Sumatra (1826). Menurut catatannya: Sungai Pagurawan berada dibawah penghulu Pemandraasal Batubara dan penduduk asli di situ menanam padi dan jumlah penduduk tak lebih dari 100 orang.”Menurut catatan Anderson tahun 1823 Pagurawan sudah dihuni oleh 100 orang dan rakyatnya bermata pencaharian sebagai petani dengan menanam padi.Pagurawan telah menjadi sebuah perkampungan   perdagangan tahun 1823.
2.3     Pertumbuhan Dan Perkembangan Bandar Pagurawan
Pertumbuhan dan perkembangan bandar perdagangan pagurawan tidak terlepas dari orang-orang yang memerintah (berkuasa) didaerah tersebut, antara lain dapat diuraikan sebagai berikut: .
1 Datuk Muhamammad Odris Gelar Datuk Muncak
   Beliau adalah pendiri Pagurawan
2 Datuk Muhammad Nuh (Datuk Seri 
 “Datuk Muhammad Nuh menikah dengan adik Raja Siantar yang kemudian di Islamkan oleh Datuk Muhammad Nuh. Dari pernikahan mereka maka Datuk Muhammad Nuh mendapatkan tiga orang anak, yaitu: anak pertama bernama Incik Cahaya, anak ke dua bernama Datuk Muhammad Yusuf, dan anak ke tiga bernama Datuk Panglima Besar Akas.
.   3 Datuk Muhammad Yusuf (Datuk Setia Wangsa)
Masa kepemimpinan Dt.Setia Wangsa Bandar perdagangan ini mangalami masa kejayaan baik dari segi ekonomi dengan makin ramainya kegiatan perekoniomianhj maupun dari segi relasi social budaya yang ditandai dengan harmonisnya hubungan politik ekonomi dengan penguasa pedalaman , tambahan lagi harmonisasi itu semakin kuat dengan menyebarnya  Agama Islam ke pedalaman berkat perkawinan dengan putrid raja  pedalaman .Tahir (2008 : 200) menyatakan bahwa:
“Setelah meninggalnya Datuk Seri Batara lalu digantikan oleh puteranya Datuk Muhamamd Yusuf bergelar Datuk Setia Wangsa. Datuk Setia wangsa berkawin dengan Puang Jamain (seri berganti Damanik) yaitu saudara kepada puang Bolon Raja Siantar. Kemudian kawin pula dengan Puang Sarinim Saragih Geringging yaitu saudara kepada Raja Raya.”
   
 Datuk Setia Wangsa menikahi Puang Jamain dan Puang Sarinim.  hasil perkawinan Datuk Setia Wangsa  memiliki 17 orang anak . dari jumlah anak yang dimiliki Datuk Setia Wangsa terlihat kemakmuran   Banyak kerajaan yang mau bekerjasama dengan Kerajaan Pagurawan seperti Kerajaan Simalungun, Siantar, Raya dan Bandar.  Barang dagangannya seperti rotan, jaronang, dammar, lilin, rambung merah, getah mayang dan lain-lain. Dan banyak tongkang-tongkang yang datang berlabuh dan menjadi pintu masuk kedaerah Pulau Pinang, Bangkok, Melaka dan Singapura.  Seperti yang dijelaskan oleh Tahir (2008 : 202) bahwa :
“ ……………………,tidak heran pula jika ada kerajaan lain yang ingin bekerjasama dan bersahabat diantaranya ialah Kerajaan Simalingun, Siantar, Raya, dan Bandar. Kerajaan - kerajaan ini datang membawa barang dagangannya seperti rotan, jaronang, dammar, lilin, rembung merah, getah mayang dan lain-lain. Pagurawan pada masa itu semakin ramai dikunjungi orang dengan perahu-perahu besar dan tongkang-tongkang, sehingga menjadi Bandar pelabuhan untuk masuk dan bertolak ke negeri negeri seberang yaitu Pulau Pinang, Bangkok, Melaka dan Singapura.”
Diperjelas pula bahwa  keberhasilan Datuk Setia Wangsa memimpin Kerajaan Pagurawan, tidak lepas dari hasil alam yang baik untuk perdagangan sehingga  Bandar Perdagangan.yang dahulu terkenal dengan tangkahan menjadi pelabuhan yang ramai. Dengan keramaian ini banyak kerajaan-kerajaan lain di sekitanya menjadi iri dan mengadakan perlawanan dan mencoba untuk menyerang. Seperti yang dijelaskan oleh Sinar (tanpa tahun : 136) bahwa ;“ pada zaman pemerintahannya Pagurawan silih berganti diserang oleh Negeri-negeri tetangga seperti Tanjung Kasau, Bandar khalifah, Sipare-pare, Tebing –Tinggi dan lain-lain”. Dari penjelasan diatas Dapat disimpulkan bahwa dengan kemajuan Kerajaan Pagurawan membuat kerajaan-kerajaan lain menjadi iri hati dan melakukan penyerangan yang silih berganti kepada Kerajaan Pagurawan. Sehingga Datuk Setia Wangsa membuat persiapan untuk melawan serangan yang dilakukan oleh Kerajaan-kerajaan tetangga.  Tahir (2008 : 2002) bahwa :
“Dengan adanya serangan-serangan dari luar ini mahu tak mahu Datuk Setia Wangsa terpaksa memuat persiapan pertahanan ditempat-tempat yang strategis. Seperti di kuala Pagurawan dipersiapkan 2 buah meriam yang dikepalai oleh Datuk Panglima Daud, di Istana Kampung besar empat penjuru di pasang 2 buah lela dari Gansa dan enam buah meriam dipersiapkan sampai ke pekubuan dikepalai oleh Datuk Panglima Besar Akas”
Dari keterangan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa akibat dari serangan yang dilakukan oleh Kerajaan-kerajaan tetangga maka Datuk setia Wangsa membuat beberapa persiapan ditempat-tempat yang strategis demi keamanan Kerajaan Pagurawan  sehingga setelah Kerajaan Pagurawan runtuh masih terdapat beberapa mariam yang menjadi bukti kebenaran akan adanya Kerajaan Pagurawan dan kebenaran atas Pagurawan yang menjadi bandar Perdagangan pada masa itu.
PENUTUP
 Datuk Muhammmad Idris  membuka lahan sawah dan ladang. Sebagai perkampungan sehingga semakin ramai. Sampai pada hari yang ditentukan diadakan perhelatan , orang hadir ke majelis jamuan  bersuka ria sambil bersenda gurau. Majelis jamuan ini akhirnya bertukar menjadi mejelis pergurauan dan oleh karena kampung baru itu belum ada nama resminya maka sejak pada hari itu kampung itu diberi nama Negeri Pagurawan (Pergurauan).
Pagurawan mencapai puncak kejayaan pada masa Datuk Setia Wangsa dimana banyak kerajaan-kerajaan tetangga melakukan hubungan kerjasama dengan Pagurawan dalam bidang jual beli dengan hasil sumber daya alam yang dimiliki oleh Pagurawan  Sehingga terbentuklah sebuah bandar perdagangan yang besar.
 Bukti akan adanya Bandar Perdagangan Pagurawan adalah adanya Kerajaan Pagurawan, yang didukung data fisik berupa kompleks makam Datuk Muhammad Nurdin (Datuk Setia Maharaja Rela), mariam yang digunakan pada masa Datuk Setia Wangsa dalam menghadapi serangan para kerjaan sekitar Pagurawan, adanya Tangkahan (bandar) walaupun sekarang hanya menjadi tempat para nelayan menjual hasil tangkapan ikannya

                                              
 DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman, Dudung. 2007. Metodologi Penelitian Sejarah. Ar-Ruzz Media: Jogyakarta.
Asnan, Gusti. 2007. Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera. Jakarta: Ombak.
Kuntowijoyo. 2005. Pengantar Ilmu Sejarah. Bentang Pustaka: Jogyakarta.
Leirissa, R.Z. 1995. Sunda Kelapa Sebagai Bandar Jalur Sutra. Depdikbud: Jakarta
Notosusanto, Nugroho. 1984. Sejarah Nasional Indonesia III. Balai Pustaka. Jakarta
Nurcahyani Lisyawati. 1999. Kota Pontianak Sebagai Bandar Dagang di Jalur Sutra. Jakarta .CV. Ilham Bangun Karya.
Sinar, Luckman. Tanpa Tahun. “Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur”. Medan . Terbitan Sendiri.
Sjamsuddin, Helius. 2007. Metodologi Sejarah. Penerbit Ombak: Jogyakarta.
S. Nasution. 2006. Metode Research. Bumi Aksara: Jakarta.
Perret, Daniel. 2010. Kolonialisme dan Etnisitas Batak dan Melayu di Sumatera Timur. Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional. Jakarta
Tahir, bin Ismail. 2008. Sejarah Batu Bara. Kuala Lumpur. Terbitan sendiri