Minggu, 29 Januari 2012

Nasionalisme dan Patriotisme Canon Dalam Penulisan Sejarah Di Indonesa


Nasionalisme dan Patriotisme
Canon Dalam Penulisan Sejarah Di Indonesia



Penulisan sejarah adalah merupakan sejarah itu sendiri, jadi penulisan haruslah mencitrakan karya yang ilmiah serta lepas dari pandangan yang subjektif .Penulisan sejarah Indonesia masih berkutat pada pendekatan untuk menumbuhkembangkan semangat kebangsaan dan patriotism sehingga menepikan kesempatan untuk mendudukkan sejarah sebagai Ilmu .Pengejawantahan konsep Nasionalisme dan Patriotisme tetap menjadi canon dalam penulisan sejarah mengakibatkan  kita terjebak dalam jargon-jargon saja dan cenderung serimonial manakala berpapasan dengan sejarah .Sejarah untuk penguatan jatidiri adalah keniscayaan sehingga berdampak pada tampilan sejarah yang subjektif

Kata kunci; nasionalisme,patriotism,canon penulisan sejarah

*Pengajar Jur.Pend.Sejarah FIS UNIMED


Pendahuluan
    “Why have canons become problematic in our?” Jika pernyataan Stuurman dan Grever (2007) itu dikaitkan dengan tradisi penulisan sejarah di Indonesia, maka dapat dikatakan bahwa politisasi dan ideologisasi penulisan sejarah merupakan faktor utama penyebab permasalahannya. Betapa tidak, sejak dirumuskannya historiografi Indonesiasentris pada Seminar Sejarah Nasional Pertama tahun 1957 di Yogyakarta sampai pada arah penulisan sejarah dewasa ini, masih dipenuhi atau dihiasi oleh nilai-nilai kebangsaan, sehingga mengakibatkan sebagian besar pemahaman tentang sejarah Indonesia cenderung anakronis.
    Tradisi penulisan sejarah Indonesia seakan-akan hanya menjadi pengumbar nafsu kebangsaan, karena canon yang dibangun hanya bergerak dalam kubangan “nasionalisme” dan “petriotisme”. Segala hal yang berhubungan dengan istilah nasionalisme dan patriotisme telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari penulisan sejarah di Indonesia. Hal ini dikarenakan, canon sering kali mengistimewakan peristiwa politik yang penting dan personalitas yang besar, tentu saja mana yang dianggap penting dan besar sering kali disesuaikan dengan selera pemerintah (Stuurman dan Grever, 2007). Cara pandang ini telah mengakibatkan tradisi penulisan sejarah Indonesia menjauh dari tradisi sejarah kritis, tetapi justru menghadirkan penulisan sejarah yang penuh dengan muatan politis dan ideologis yang tidak mengakui keberagaman pandangan dalam konstruksi dan pemaknaan terhadap masa lalu. Dalam hal ini, sejarah cenderung menjadi formal dan elitis karena canon cenderung mengutamakan peristiwa dan tokoh besar, sehingga tidak memberi ruang pada sejarah mikro atau sejarah sehari dan kemanusiaan.  
    Oleh sebab itu, tulisan ini mencoba untuk melihat bagaimana tradisi penulisan sejarah Indonesia selama ini telah membentuk canon nasionalisme dan patriotisme yang sarat dengan muatan ideologis dan cenderung memiliki perspektif yang sempit, serta sejauh mana tradisi penulisan sejarah Indonesia mampu mengembangkan canon nasionalisme dan patriotisme, dan kemungkinan membangun cara berpikir lain untuk memunculkan canon baru (new canon) dalam konteks penulisan sejarah yang manusiawi?
Pembahasan
    Sebagaimana diketahui bahwa Seminar Sejarah Nasional Pertama yang dilaksanakan di Yogyakarta tahun 1957 merupakan tonggak penting dalam perkembangan penulisan sejarah di Indonesia, karena telah berhasil menyusun sebuah rumusan baru tentang landasan filosofis sejarah nasional yang dikenal sebagai Indonesiasentris. Kebutuhan untuk menyusun konsep dasar sejarah nasional itu merupakan reaksi terhadap historiografi kolonial yang mengecilkan arti masyarakat Indonesia dalam proses sejarahnya sendiri (Purwanto, 2006). Dengan kata lain, perspektif yang digunakan dalam historiografi itu ialah perspektif Indonesia (Ali, 2005). Namun menurut Purwanto (2006) bahwa sejak awal perkembangannya, historiografi Indonesiasentris cenderung menjauh dari sejarah objektif karena dekolonisasi yang menjadi prinsip dasar dari Indonesiasentris ternyata juga digunakan untuk merekonstruksi masa lalu yang bersifat ultra nasionalis dan lebih mementingkan retorika, serta tidak mampu lepas jeratan warisan sejarah kolonial.
    Pernyataan Purwanto di atas tercermin dari karya-karya generasi awal sejarawan Indonesia, seperti Muhammad Yamin dan Soekanto. Dalam karyanya tentang “Sedjarah Peperangan Dipanegara : Pahlawan Kemerdekaan Indonesia” (1952), menguraikan Diponegoro sebagai seorang pahlawan yang melawan ambisi kolonial dan pemersatu bangsa. Karya Soekanto tentang “Sentot Alias Alibasah Abdulmustopo Prawirodirdjo Senopati Pangeran Diponegoro” juga dapat disejajarkan dengan karya Muhammad Yamin. Dimana Sentot dan Diponegoro, digambarkan sebagai tokoh yang sempurna dan pahlawan yang telah berjasa dalam usaha mempersatukan bangsa maupun perjuangan nasional Indonesia, tanpa perlu melihat konteks waktu, ruang dari peristiwa itu dan realitas kemanusiaan dari kedua tokoh tersebut.
    Lebih lanjut Purwanto mengemukakan bahwa di dalam konteks metodologis yang merujuk pada wacana dasar para relativis, karya-karya itu sebenarnya telah merekonstruksi sejarah berdasarkan interpretasi kekinian, yaitu jiwa zaman yang berkembang pada waktu itu yang menitikberatkan pada nasionalisme dan patriotisme. Jika merujuk pernyataan Stuurman dan Grever (2007) yang mengemukakan “a canon can therefore be defined as a master narrative of community’s historis, embodied in the social routines and professional of its recognized history specialistrt”, maka dapat dikatakan bahwa jiwa zaman (zeitgeist) yang menitikberatkan pada nasionalisme dan patriotisme merupakan canon yang dibangun oleh generasi awal sejarawan Indonesia dalam karya-karyanya. Atau dengan kata lain, nasionalisme dan patriotisme merupakan canon dalam penulisan sejarah Indonesia pada periode awal perkembangannya.
    Walaupun menjauh dari sejarah yang objektif, tetapi jika cara penulisan generasi awal sejarawan Indonesia di atas dikaitkan dengan jiwa zaman (zeitgeist) pada waktu itu, maka cara penulisan mereka dengan mudah dapat dimengerti mengingat adanya keperluan untuk memupuk semangat nasionalisme dari sebuah bangsa yang baru merdeka. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa segala hal yang berhubungan dengan istilah nasionalisme telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari penulisan sejarah di Indonesia. Dengan demikian, nasionalisme telah menjadi “canon pokok” yang menghiasi sejarah Indonesia.
    Akan tetapi, canon yang dibangun dalam karya-karya generasi awal sejarawan Indonesia menjadi bermasalah karena cara penulisannya lebih mementingkan retorika yang bermuatan politis dan ideologis, sehingga cenderung menjauh dari sejarah kritis dan tidak mengakui keberagaman pandangan dalam konstruksi dan pemaknaan terhadap masa lalu. Selain itu, yang paling mendasar ialah ketidakmampuan generasi awal untuk menghadirkan sejarah yang lebih manusiawi. Contohnya karya Muhammad Yamin dan Soekanto di atas yang menggambarkan Diponegoro dan Sentot sebagai seorang tokoh yang sempurna dan pahlawan yang telah berjasa dalam usaha mempersatukan bangsa maupun perjuangan nasional Indonesia, tanpa perlu melihat konteks waktu, ruang dari peristiwa itu dan realitas kemanusiaan dari kedua tokoh tersebut. Padahal secara logika historis, kedua tokoh yang ada pada saat itu belum mengenal kata “Indonesia”. Begitu juga dengan realitas kemanusiaan kedua tokoh, Diponegoro dan Sentot sebagai manusia tidak mungkin mencapai kesempurnaan karena tidak mungkin untuk dipungkiri adanya elemen negatif dalam dirinya.
    Permasalahan canon semakin berlanjut, ketika dalam perkembangan penulisan sejarah berikutnya telah berubah menjadi dogmatik yang membentuk cara berpikir sempit dan seragam dalam merekonstruksi masa lalu Indonesia. Hal ini tercermin dari karya-karya generasi sejarawan berikutnya yang juga menitikberatkan pada penjelasan canon nasionalisme dan patriotisme yang selalu dimainkan oleh orang-orang besar. Contohnya buku Napitupulu (1972) yang berjudul “Perang Batak Perang Sisingamangaraja” dan Sijabat (1982), “Ahu Si Singamangaraja”. Kedua buku ini pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan karya Muhammad Yamin. Selain bersifat ultra nasionalis, karya Napitupulu dan Sijabat juga menafikkan realitas kemanusiaan Sisingamangaraja. Sisingamangaraja dideskripsikan sebagai seorang pahlawan dalam perjuangan kemerdekaan yang direpresentasi sebagai nasionalisme Indonesia. Dari dua karya ini, hampir tidak tampak elemen negatif yang dimiliki Sisingamangaraja sebagai seorang manusia. Permasalahan yang sama juga tampak ketika semua sejarawan Indonesia seolah-olah sepakat memasukkan Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien dari Aceh, Patimura dari Maluku, Hassanuddin dari Makasar, Imam Bonjol dan Sultan Agung sebagai pahlawan nasional yang berjuang melawan Belanda. 
    Sebuah harapan baru sebenarnya muncul ketika Sartono Kartodirdjo dengan studinya tentang pemberontakan petani Banten telah berhasil menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial atau pendekatan multidimensional dalam metodologi sejarah. Kerangka metodologis ini kemudian berkembang dalam dunia akademis. Di satu sisi, Sartono telah berhasil membentuk perspektif baru dalam kajian sejarah Indonesia dengan menghadirkan masyarakat kebanyakan. Namun dalam beberapa hal, Sartono masih terjebak dengan pola pikir lama. Dimana studi Sartono masih terjebak pada determinasi eksploitasi ekonomi kolonial. Hal ini tampak pada canon yang dibangun oleh Sartono dalam studinya, yakni petani adalah rakyat yang ditindas. Canon yang dibangun Sartono dalam studinya itu cenderung menafikkan realitas kemanusiaan petani. Padahal secara manusiawi, petani juga mungkin melakukan penindasan.
      Begitu juga halnya dengan karya Lapian (1987), “Orang Laut-Bajak Laut : Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Pada Abad XIX” dan karya Suhartono (1991), “Apanage dan Bekel : Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1930. Dari dua karya itu, bajak laut dan bandit pedesaan digambarkan sebagai pahlawan karena aktivitas mereka yang banyak merugikan pemerintah kolonial. Dari cara pandang itu, ada kesan kuat dari Lapian dan Suhartono untuk membentuk canon nasionalisme melalui kepahlawanan bandit dan bajak laut. Namun menurut Purwanto (2006), walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa proses marginalisasi terhadap penduduk sebagai akibat dari perluasan kekuasaan kolonial telah menimbulkan berbagai bentuk perlawanan, tetapi tidaklah semua bajak laut dan bandit pedesaan adalah musuh penguasa kolonial, bahkan sebagian dari mereka tidak berhubungan atau justru bekerja untuk pemerintah kolonial. Selain itu, bajak laut dan bandit pedesaan juga tidak dapat lepas dari realitasnya sebagai kriminal yang merampok siapa saja. Dengan demikian, canon kepahlawanan (patriotisme) dan nasionalisme yang dibangun Suhartono dan Lapian cenderung menafikkan proses sejarah yang dilalui bandit pedesaan dan bajak laut sebagai kriminal.
    Politisasi dan ideologisasi terhadap penulisan sejarah juga tampak kuat pada historiografi versi Orde Baru. Canon yang paling menonjol dalam historiografi versi Orde Baru ialah patriotisme Suharto dan militer dalam mempertahankan integrasi bangsa yang direpresentasi sebagai bentuk nasionalisme. Hal ini tampak jelas pada peristiwa sejarah Gerakan 30 September yang dimuat dalam buku “Konsensus Nasional 1966-1969” yang ditulis oleh Nugroho Notosusanto dan buku “Sejarah Nasional Indonesia” yang juga dieditori Nugroho Notosusanto. Kedua buku ini memaparkan secara terbuka bagaimana patriotisme Suharto dan militer dalam meredam krisis 30 September 1965, dengan menyalahkan PKI (Partai Komunis Indonesia) sebagai dalang dari gerakan tersebut. Buku itu juga memaparkan secara terbuka bagaimana Soeharto dan militer meraih tahta kekuasan Indonesia dengan mencari kekuatan legitimasinya melalui krisis 30 September 1965, dan melekatkannya dengan aspirasi rakyat untuk menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen yang juga dimobilisasi oleh militer.
    Begitu juga halnya dengan buku “Pejuang dan Prajurit” (1984) yang ditulis Nugroho Notosusanto. Dalam buku ini, lagi-lagi militer dilukiskan menjadi kekuatan satu-satunya bagi keberlanjutan perjalanan bangsa ini. Buku ini juga menggambarkan bagaimana komunisme sebagai suatu ideologi dan PKI sebagai organisasi yang berbahaya bagi integrasi bangsa, sehingga membutuhkan sentuhan militer agar Indonesia menjadi tentram kembali. Dapat juga dikatakan bahwa buku inilah satu-satunya yang tersebar luas di masyarakat tentang kajian dwi fungsi ABRI secara komprehensif, sekaligus didalamnya merupakan bagunan sejarah yang menjadikan militer sebagai penentu masa lalu, juga masa depan bangsa.
    Dari buku-buku sejarah versi Orde Baru di atas tampak jelas bagaimana narasi sejarah tunggal atau seragam telah membangun canon yang berguna untuk kepentingan Orde Baru dan militer, yakni 1) Sebagai legitimasi naiknya Orde Baru ke panggung politik guna memimpin Indonesia dengan cara memproduksi versi peristiwa Gerakan 30 September yang tabu untuk diperdebatkan selama Suharto memimpin. 2) Sebagai pengokohan kekuatan militer di Indonesia dengan menempatkan militer sebagai penyelamat bangsa dan penjaga stabilitas politik dan ekonomi republik ini. Orde Baru dan militer dalam narasi sejarah nasional versi Orde Baru diinterpretasikan dalam seragam yang sama. Dengan kata lain, sejarah yang dibangun adalah untuk melegitimasi rezim, baik itu Orde Baru maupun kolektivitas militer. Keduanya dapat diberi garis pembeda, tetapi tidak dapat dipisahkan. Bilamana berbicara tentang Orde Baru, maka ada militer didalamnya, dan militer merupakan bagian dari kekuatan Orde Baru.
    Dari paparan di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sejak awal sampai Orde Baru, historiografi Indonesia cenderung untuk membangun canon nasionalisme dan patriotisme dengan menjadikan penulisan sejarah sebagai alat penghujat dan menggunakan masa lalu sebagai tameng pembenaran. Ketika Indonesia merdeka, pusat dan pemeran utama dalam historiografi yang tadinya ditempati Belanda oleh sejarawan Indonesia posisinya dibalik, dengan mengikuti pola-pola yang dibuat oleh sejarawan kolonial. Jika sebelumnya Belanda merupakan pemberadab, sekarang ditempatkan sebagai orang-orang biadab yang merampok, menjajah, dan mengeksploitasi Indonesia. Setiap penentang Belanda, baik untuk kepentingannya sendiri maupun orang banyak, demi hajat lokal atau nasional, dianggap sebagai pahlawan. Setelah Orde Lama turun dan digantikan Orde Baru, pemeran utama dalam historiografi nasional menjadi bergeser lagi. Orde Lama dianggap gagal mempertahankan bangsa dan negara, sedangkan Soeharto (Orde Baru dan militer) adalah juru selamatnya.
    Cara pandang di atas mengakibatkan sebagian besar pemahaman tentang sejarah Indonesia cenderung anakronis, karena hanya menempatkan peristiwa besar, tokoh-tokoh besar dan institusi dalam proses sejarah Indonesia. Penulisan sejarah yang cenderung menitikberatkan kepada canon nasional tidak hanya menafikkan realitas kemanusiaan dari tokoh-tokoh yang dikonstruksi dalam penulisan sejarah, tetapi juga tidak mampu mengahdirkan menghadirkan masa lalu rakyat secara optimal dan tidak memberi ruang pada sejarah mikro atau sejarah kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan paparan di atas, maka dapat dikatakan bahwa canon yang dibangun oleh tradisi penulisan sejarah cenderung anakronis. Indonesia Betapa tidak, tokoh-tokoh yang digambarkan sebagai pahlawan dalam perjuangan kemerdekaan dan mempertahankan integritas bangsa sebenarnya juga dapat dikatakan sebagai pemberontak, jika cara pandang dalam melihat aktivitas mereka sebagai bentuk pemberontakan terhadap pemerintahan yang berkuasa. Bahkan bukti-bukti yang ada juga menunjukkan bahwa proses sejarah tokoh-tokoh yang dideskripsikan sebagai pahlawan tidak hanya dapat dikaitkan dengan perlawanan terhadap kolonialisme, tetapi juga terkait dengan dinamika internal dalam masyarakat, dimana adanya konflik atau persaingan horizontal yang melibatkan tokoh-tokoh di atas dengan kelompok sosial lain di dalam masyarakat setempat. Dengan demikian, bukti-bukti itu semakin menguatkan bahwa proses sejarah tokoh-tokoh di atas tidak hanya dapat ditulis sebagai seorang pahlawan, tetapi juga pemberontak. Oleh sebab itu, dalam penulisan sejarah Diponogoro, Sisingamangaraja, Teuku Umar, Iman Bonjol dan Hasanuddin, tidak harus mengikuti perpektif canon lama (old canon) yang cenderung mendeskripsikan tokoh-tokoh itu sebagai pahlawan, tetapi dapat memunculkan canon baru (new canon) yang menggambarkan mereka sebagai pemberontak tanpa mengucilkan nilai-nilai kepahlawanannya.
    Berdasarkan cara berpikir di atas, maka hal yang sama juga dapat dilakukan terhadap tokoh-tokoh yang dideskripsikan sebagai pemberontak oleh tradisi penulisan sejarah nasional. Kahar Mujakar dan Kolonel Simbolon misalnya, kedua tokoh itu dalam historiografi Indonesiasentris dianggap sebagai pemberontak yang mengancam integrasi negara. Namun dari bukti-bukti yang ada, pemberontakan kedua tokoh itu menunjukkan adanya konflik internal antara lokal dan pusat, dimana Kahar Mujakar dan Simbolon menuntut diberikannya otonomi daerah karena ada ketimpangan diantara pusat dan lokal. Bagi pemerintah pusat, Kahar Mujakar dan Simbolon adalah seorang pemberontak sehingga dalam penulisan sejarah nasional, kedua tokoh itu harus dikonstruksi sebagai seorang pemberontak. Namun bagi masyarakat di daerah, Kahar Mujakar dan Simbolon justru dianggap sebagai tokoh yang memperjuangkan aspirasi mereka terhadap pemerintah pusat. Dengan begitu, dalam penulisan sejarah baru tentang Kahar Mujakar dan Simbolon, dapat dimunculkan canon baru (new canon) yang mendeskripsikan nilai-nilai perjuangannya untuk kepentingan masyarakat lokal, tanpa harus menghilangkan pemberontakannya terhadap pemerintah pusat. Hal yang sama juga dapat dilakukan terhadap D.N Aidit dengan melihat realitas kemanusiaannya. Dimana sebagai seorang manusia, D.N Aidit tidaklah sejahat yang dideskripsikan dalam historiografi nasional karena Aidit juga memiliki elemen positif dalam dirinya, walau sekalipun dalam lingkup yang kecil.

Penutup
    Dengan perspektif di atas, maka penulisan sejarah akan tampak lebih manusiawi, dimana tidak ada ketimpangan dalam menghadirkan realitas kemanusiaan seseorang. Walaupun penulisan sejarah yang berkembang dewasa ini telah membentuk wacana dan sejarah alternatif sebagai reaksi terhadap politik dan dogmatik militer dan Orde Baru sebagai sebuah rezim, tetapi dalam kenyataannya masih menggunakan cara berpikir lama untuk menuliskan sejarah yang berbeda. Apa yang baik pada sejarah lama seakan-akan menjadi sesuatu yang buruk dalam sejarah yang berkembang akhir-akhir ini. Dalam arti, mengabaikan sejarah dari orang yang dulu dianggap sebagai penindas. Maka tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa sebagian besar penulisan sejarah dewasa ini sebenarnya masih mengikuti canon yang serupa dengan generasi sebelumnya. Oleh sebab itu, agar tidak terjebak dalam anakronisme yang sama, maka tidak berlebihan jika mengatakan bahwa perspektif sejarah yang manusiawi, dimana tidak ada ketimpangan dalam menghadirkan realitas, dianggap perlu untuk dikembangkan dalam tradisi penulisan sejarah di Indonesia. 
    “National canons rely on the nation as the self-evident bedrock of historical reality” (Stuurman dan Grever : 2007). Tidak salah jika kita mengatakan bahwa pernyataan Siep Stuurman dan Maria Grever tersebut juga berlaku bagi tradisi penulisan sejarah Indonesia. Hal ini tampak pada canon nasionalisme yang cenderung dimunculkan dalam karya-karya sejarawan dari generasi ke generasi. Namun, satu hal yang perlu dicatat bahwa canon

nasionalisme yang dimunculkan dalam penulisan sejarah di Indonesia itu cenderung menghadirkan peristiwa besar yang menitikberatkan pada penjelasan politik dan tokoh-tokoh besar yang terlalu menitikberatkan pada penjelasan politis dan ideologis, sehingga tidak mampu menghadirkan masa lalu rakyat secara optimal dan tidak memberi ruang pada sejarah mikro atau sejarah kehidupan sehari-hari dan sejarah yang manusiawi. Oleh sebab itu, untuk memunculkan canon baru (new canon) diperlukan keberagaman eksplanasi dan keberagaman epistimologi dalam tradisi penulisan sejarah Indonesia. Dengan keberagaman maka akan terbangun secara struktur ilmu sejarah yang kokoh.



Daftar Pustaka

A.B Lapian    1987    Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut : Sejarah Kawasan laut            SulawesiPada Abad XIX. Universitas Gadjah Mada : Yogyakarta
Bambang Purwanto    2006    Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?! Ombak : Yogyakarta
Muhammad Yamin    1952    Sedjarah Peperangan Dipanegara: Pahlawan Kemerdekaan Indonesia. Jajasan pembangunan : Djakarta
Nugroho Notosusanto    1985    Tercapainya Konsensus Nasional 1966-1969. Balai Pustaka : Jakarta
O.L Napitupulu    1972    Perang Batak Perang Sisingamangaraja. Yayasan Pahlawan Nasional  Jakarta
R. Moh. Ali 2005    Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia. LKiS : Yogyakarta
Sartono Kartodirdjo    1966    The Peasent’s Revolt of Banten in 1888, Its Condition, Course, Sequel     : A Case Study of Social Movement In Indonesia. Martinus Nijhoft :     Gravenhage
Siep Stuurman dan Maria Grever    2007    Beyond the Canon : History for the Twenty-First Century. Palgrave Mc Millon
Suhartono    1991    Apanage dan Bekel : Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1930. Tiara Wacana : Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar