Minggu, 29 Januari 2012

PARADIGMA STRUKTURISTIK DAN EVOLUSIONARIS SEJARAH



Paradigma Strukturistik dan Evolusionaris untuk Menjelaskan Sejarah:
Tinjauan “Controling Water, Controling People”

oleh
Tappil Rambe*


Abstraksi
Pembahasan tentang fungsi air sebagai sarana dan prasarana kehidupan masyarakat Nusantara tidak akan pernah kering . Berbagai pendekantan digunakan untuk menjelaskan kemamfaatan air dalam  kehidupan .Berbagai analisis dibangun untuk mendapatkan gambaran yang signifikan tentang  bagaimana masyarakat memamfaatkan air.Bahkan suprastruktuR(penguasa) yang membangun jaringan irigasi juga dilibatkan untuk ditelaah kemamfaatannya. Pengawasan terhadap penggunaan air juga menjadi satu telaah agar diperoleh gambaran yang lebih objektif bahawa sebenarnya segala yang berkaitan dengan kolonial tidak selamanya  menampilkan wajah sebagai kolonialisme,tetapi juga membawa suatu pencerahan dalam bidang lain dalam hal ini tehnologi
Kata kunci; Paradigma strukturasl,evolusinis controling water,kontroling people





*Pengajar Jur.Pend.Sejarah FIS UNIMED





Pendahuluan
Salah satu elemen pokok pendukung kelangsungan hidup manusia adalah air. k sebagai sumber minum, bagi manusia, air penting untuk mencuci, memasak, mandi, juga untuk kebutuhan ternak atau tanaman mereka. Begitu pentingnya air, sampai-sampai Thales, filsuf tertua Yunani, pun berpendirian bahwa apa saja yang ada tersusun dari air.
Jika ditelusuri salah satu yang  menarik dari tulisan Ravesijn ialah terminologi serangan peradaban dimana  orang Jawa tidak memiliki teknologi pengairan dan aatau kalaupun  punya sebenarnya tidak layak dikatakan sebagai teknologi. Analisis yang ditampilkan Ravestijn sangat “Barat” dan menafikkan kenyataan bahwa masyarakat Jawa memiliki kebiasaan gotong royong ,khusus terkait dengan air. Tidak hanya itu, dalam hierarki pemerintahan desa pun dikenal ada ulu-ulu, orang yang bertugas mengatur air. Selain menyiratkan ketidakpunyaan masyarakat Jawa akan teknologi pengairan, diksi ini juga mengesankan ada sesuatu yang ingin diperbaiki lewat pengairan, dimana teknologi pengairan sendiri merupakan salah satu bentuk modernisasi kala itu.
Teknologi pengairan yang menjiwai tulisan Ravestijn, mengandungi dua hal  utama yang menjadi perhatian , pertama  bias kolonial(isme) dalam penulisan sejarah, khususnya sejarah teknologi pada masa kolonial,  serta pendekatan yang digunakan untuk menjelaskan sejarah itu. Sehubungan dengan poin pertama, pernyataan Ravestijn tentang tema sejarah teknologi dalam penulisan sejarah kiranya tidak boleh dilewatkan. Bahwa penulisan sejarah selalu mengidentikkan kolonial dengan eksploitasi. Di satu sisi, tema sejarah teknologi tidak menarik. Kalaupun ada yang menulis selalu menitikberatkan pada aspek kolonialnya. Dalam arti-an, teknologi untuk mendukung ekspansi dan eksploitasi yang dilakukan oleh sang kolonial terhadap koloninya  . Ditarik ke masa sekarang, pernyataan dan penekanan Ravestijn soal ada tidaknya misi khusus di balik setiap kebijakan pemerintah kolonial serta pengidentikan kebijakan itu dengan eksploitasi mengingatkan  akan pernyataan Bambang soal historiografi Indonesia(sentris) yang masih sering terjebak pada determinasi kolonial (Bambang, 2007: 23). Keterjebakan itu, mengutip Bambang, tampak dari eksplanasi di sekitar historis kolonial sehingga menafikkan bukti-bukti empirik tentang adanya independensi kausalitas yang menempatkan sejarah sebagai sebuah proses yang sebenarnya terjadi di sekitar masyarakatnya. Padahal, tambahnya, sebagai sebuah proses historis sejarah pada masa kolonial tidak selalu identik dengan kekuatan kolonial karena sejarah yang terjadi merupakan hasil interrelasi berbagai elemen yang menjadi bagian dari proses sejarah waktu itu. Selain itu, tulis Bambang, kekuasaan kolonial pada prinsipnya hanya merupakan satu dari berbagai elemen yang menjadi bagian dari proses sejarah pada waktu itu (Bambang, 2007: 23).
Sementara itu, terkait dengan pendekatan, Ravestijn menyatakan bahwa pengairan merupakan konsekuensi antara teknologi dan konteks sosial. Dengan demikian, ia lebih menekankan pada konstruksi sosial sebagai pendekatannya. Dalam artian, ia melihat perkembangan teknologi sebagai sebuah variasi yang dipengaruhi oleh proses sosial dimana aktornya berpengaruh dan mencipta sistem teknis-sosial. Sehubungan dengan itu, ia fokus pada konteks sosial, pembentukan Hindia Belanda, serta posisi Hindia Belanda di tengah perekonomian dunia.
Selanjutnya dua hal utama yang ditekankan oleh Ravestijn memberikan dorongan untuk memikirkan lebih mendalam pendekatan yang bisa digunakan untuk menjelaskan sejarah teknologi. Baik pendekatan yang sifatnya mendukung atau mengkritisi pendekatan yang digunakan Ravestijn maupun pendekatan alternatif lainnya.  Sehubungan dengan hal itu, hal pertama yang saya lakukan ialah menyoroti substansi yang ditawarkannya.

Pembahasan
Mencermati pernyataan yang dipaparkan dalam tulisan Ravestijn tidak ada bedanya dengan tulisan tentang pengairan lainnya yakni masih mengidentikkan pengairan dengan irigasi atau agragria. Padahal, kalau ditelisik, pengairan tepatnya irisigasi sendiri pun juga berhubungan dengan masalah lainnya. Contohnya, irigasi di pertanian padi basah (baca: sawah) erat kaitannya dengan masalah ekonomi, kemasyarakatan, dan politik (Rudolf Mrazek, 2007: 78).
Memang, Ravestijn sudah mengulas ketiga hal tersebut. Ia mencontohkan di bidang ekonomi, sistem pengairan berimplikasi pada peningkatan ekspor gula dan produktivitas padi; di bidang politik, irigasi merupakan bagian dari politik etis dan menjadi pijakan pembentukan pemerintah kolonial Hindia Belanda; serta di bidang sosial atau kemasyarakatan sistem irigasi merupakan salah satu cara untuk mengatasi kelaparan. Tidak hanya itu, menurut Ravestijn, korelasi antara sistem pengairan dengan masalah sosial tampak dari pemberlakuan sistem baru di masyarakat; beberapa hal yang tadinya menjadi tanggungjawab dan ranah pegawai pangreh praja beralih ke para insinyur teknologi. Sayangnya, Ravestijn melupakan bahwa pengairan bahwa pengairan juga erat kaitannya dengan migrasi atau perpindahan penduduk, terutama perpindahan penduduk dari desa ke kota (baca: urbanisasi). Selain itu, Ravestijn juga melalaikan kemungkinan bahwa teknologi pengairan bisa memunculkan teknologi lainnya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ada tumpang tindih penggunaan diksi pengairan atau irigasi dalam tulisan Ravestijn. Acuannya bahwa pengairan merupakan pekerjaan yang bertalian dengan penyediaan air untuk pertanian dengan bendungan, bandar, terusan, dan sebagainya. Selain itu, berpegang pada definisi lainnya soal pengairan, yaitu proses, cara, atau perbuatan mengairi (KBBI jilid III).
Mencoba mengawinkan berbagai konsep tentang pengairan, langkah yang selanjutnya dilakukan ialah merunut (teknologi) pengairan. Tepatnya, (teknologi) pengairan ketika masa Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) dan abad XIX—termasuk masa tanam paksa dan perkebunan.
Memperbincangkan teknologi pengairan pada masa VOC hal yang kiranya menonjol ialah pembangunan sistem kanal. Pada masa itu, selain berfungsi untuk mengatur banjir, kanal juga berfungsi sebagai sarana transportasi. Terutama, sarana transportasi oleh pedagang Cina untuk bongkar muat dagangannya. Tentang fungsi kanal pada masa VOC dapat dibaca lebih jauh lagi dalam tulisan Susan Blackburn—selanjutnya ditulis Blackburn saja—Jakarta Sejarah 400 Tahun. Dalam Buku tersebut, dicatat oleh Blackburn bahwa Batavia merupakan wilayah yang mempunyai banyai banyak kanal. Salah satunya, kanal ditempat yang kini dikenal sebagai jalan Blandongan Selatan (dulu Bacharacht Gracht). Blackburn pun mencatat, pada masa VOC masyarakat beramai-ramai tinggal di tepi kanal. Alasannya, daerah kanal dipandang lebih nyaman dan lebih bergengsi. Ia menambahkan, perumahan yang dibangun masyarakat di tepi kanal sangat menyerupai perumahan di Belanda. Bangunannnya berlantai satu atau dua dengan dinding samping yang menempel dengan bangunnya di sebelahnya (Blackburn, 2011: 23). Begitu asrinya perumahan di sepanjang kanal, sampai-sampai di kala itu, Batavia pun berjuluk Ratu Timur (Blackburn, 2011: 22).
Sementara itu, berbicara tentang kemajuan yang dicapai dengan adanya teknologi pengairan berbentuk sistem kanal, Blackburn mencatat bahwa kanal tidak mampu menyelesaikan masalah drainase kota. Hal itu ditunjukkan dengan tingginya intensitas banjir. Banjir itu, kata Blackburn disebabkan oleh pendangkalan kanal akibat  air pasang yang membawa pasir dan menghambat aliran kali serta lumpur  dari daerah hulu. Beberapa usaha untuk menangani banjir sebenarnya sudah dilakukan—lagi-lagi tentang teknologi pengairan. Diantaranya, pengerukan oleh narapidana orang-orang Jawa yang direkrut dari pesisir—sayangnya, Blackburn tidak menjelaskan dari pesisir mana. Namun, usaha tersebut tidak terlalu berarti. Bahkan, Blackburn pun mencatat bahwa  pembersihannya sama mengganggunya. Lumpur hitam biasanya hanya dionggokkan begitu saja di tepi kanal. Akibatnya, terjadi pencemaran udara. Belum lagi, kotoran atau sampah yang tersangkut di kanal. Blackburn mencatat, “bahkan...kadangkala, bangkai babi atau kuda terdampar di kanal yang dangkal karena tidak ada yang ditugaskan untuk menyingkirkan, bangkai tersebut dibiarkan saja (Balckburn, 2011: 57). Akumulasi dari gagalnya sistem pengairan di Batavia pada masa VOC adalah berjangkitnya berbagai macam penyakit mematikan seperti disentri, tiphus, dan malaria yang diiringi dengan tingginya angka kematian(Blackburn, 2011; Leonard Blusse, 2004).
Seiring dengan kemunduran VOC, buruknya sistem pengairan di kanal, mendorong orang untuk pindah tempat tinggal mencari lingkungan yang menyehatkan, tidak tercemar bau kanal dan asap pekat penyulingan arak (Blackburn, 2011; Leonard Blusse, 2004; serta Jean Gelman Taylor, 2009). Meningkatnya kriteria masyarakat akan kesehatan, di satu sisi, diikuti pula dengan munculnya teknologi lain terkait dengan buruknya sistem pengairan. Diantaranya, orang mulai meniru kebiasaan orang cina menyeduh teh. Menggunakan air rebusan, menurut mereka, penting untuk menghindarkan mereka dari beberapa penyakit yang penularannya lewat air (Balckburn, 2011: 59). Selain itu, buruknya sistem pengairan, mendorong untuk mengaplikasi teknologi pembuatan es batu setelah sebelumnya mengimpor dari Boston. Es batu yang dicairkan merupakan sumber utama kebutuhan minum mereka (Siep Stuurman dan Maria Grever, 2007: 38-39).
Sementara itu, terkait dengan masa tanam paksa dan perkebunan swasta, teknologi pengairan erat kaitannya dengan modernisasi—sebenarnya, saya sendiri kurang setuju dengan penggunaan kosakata modernisasi karena proses tersebut lebih condong ke arah westernisasi. Berbicara tentang modernisasi sistem pengairan, kiranya ada dua titik tolak yang perlu kita cermati, yaitu pembangunan irigasi sebagai salah satu agenda Politik Etis serta kedudukan Hindia Belanda dalam ekonomi dunia. Terkait dengan hal yang kedua, fokus utamanya kiranya adalah industri gula pada awal abad XX yang sedang in di pasaran dunia sehingga mendorong pemerintah kolonial Hindia Belanda melakukan ekstensifikasi perkebunan tebu, terutama di pulau Jawa.
Sehubungan dengan ekstensifikasi perkebunan tebu, menarik kmeudian pertanyaan yang diajukan oleh Ravestijn; mengapa produksi padi juga turut meningkat? Menjawab pertanyaan tersebut, kiranya kita terlebih dahulu harus merunut karakteristik tanaman tebu serta pola penanaman yang dikembangkan kala itu. Dari penelusuran berbagai sumber, tebu ternyata sangat cocok di sawah dan membutuhkan banyak air.
Lebih lanjut, pernyataan Clifford Geertz dalam Agricultural Involution yang menjadi pijakan Ravestijn tidak kalah untuk dicermati. Geertz mengatakan bahwa penanaman tebu di sawah sangat cocok dikombinasikan dengan tebu. Sebab, menurut ilmu pertanian, tebu memerlukan lingkungan yang sama dengan padi. Dengan demikian, tampak bahwa pemerintah kolonial Hindia Belanda menggunakan kekuasaannya untuk memerintah rakyat di pedesaan untuk menyerahkan sepertiga tanahnya tanahnya kepada perusahaan-perusahaan gula dan menjalani kontrak selama 21 tahun.
      Lebih lanjut, Geertz menjelaskan bahwa proses tersebut sekaligus merupakan konsekuensi pemerintah Hindia Belanda untuk memanfaatkan struktur sosial-ekonomi pedesaan demi produksi tanaman perdagangan. Hal yang menarik, muncul persaingan irigasi dan tenaga kerja. Terkait dengan tenaga kerja ini, selain harus menyerahkan sebagian tanahnya, petani juga diharuskan bekerja tanpa upah. Hal yang demikian, kiranya merupakan akar bencana sosial di kalangan petani. Contohnya, bencana kelaparan. Di lain sisi, modernisasi atau westernisasi teknologi pengairan yang tidak dimbangi dengan pengetahuan juga mendatangkan bencana kematian bagi penduduk. Mas Marco Kartodikromo, dalam Doenia Bergerak, misalnya menulis kematian penduduk di musim kemarau bisa dimaklumi namun di musim hujan merupakan sebuah keganjilan. Terlebih, jumlah angka kematiannya justru jauh lebih tinggi dibandingkan musim kemarau. Ternyata, kata Marco, jawabannya cukup sederhana. Dalam usahanya membunuh baksil-baksil penyakit yang berjangkit pada musim kemarau, penguasa Belanda menebarkan pupuk buatan yang berisi asam belerang dan fostat berkonsentrasi tinggi di sekitar sumber air minum bersih. Akbibatnya, ketika musim hujan, bahan-bahan kimia itu masuk ke dalam sumur dan sungai-sungai sehingga membunuh lebih banyak orang daripada ketika musim kemarau (Mrazek, 2007: 81).
Selain modernisasi yang tidak diikuti dengan pengetahuan lainnya, munculnya teknologi pengairan juga menarik dipandang dari kacamata ekonomi. Diantaranya, teknologi pengairan mendorong munculnya pedagang air keliling serta berbagai pesta dan perayaan terkait dengan pembukaan suatu pengairan (Mrazek, 2007: 82). Terkait dengan munculnya fenomena pedagang air pikulan, pernyataan Tio Hek Hong—selanjutnya ditulis Hong saja— pengusaha piringan hitam pertama di Hindia Belanda, sangat menarik untuk disimak. Pada tahun 1882, kata Hong, “oleh karena belum ada air leiding, air dari sumur-sumur itu laku sekali. Pada umumnya, penduduk menampung air hujan untuk minum yang disimpan dalam tempayan-tempayan cina. Air sungai juga dijual oleh para pemikul. Harganya hanya beberapa sen setiap dua kaleng minyak tanah” (Heddy Shri Ahimsa-Putra, 1997: 57).
Dari uraian-uraian di atas, tampak bahwa bahwa ada beberapa hal yang terlewat dari penjelasan Ravestijn. Dalam beberapa hal, pendekatan konstruksi sosial atau struktural yang digunakannya untuk mengurai sejarah perkembangan teknologi dan korelasinya dengan pembentukan pemerintahan Hindia Belanda seolah menafikkan adanya peran individu atau kelompok. Memang, Ravestijn dalam paparannya menyinggung peranan para insinyur dalam proses perubahan di masyarakat. Akan tetapi penjelasan Ravestijn terlalu menekankan aspek kolonial. Peranannya tentang peranan masyarakat pribumi atau Cina hampir-hampir tidak disebut.
Sehubungan dengan hal itu, mencoba menjembatani antara struktur sosial dan kedudukan manusia sebagi penggerak sejarah disini akan coba dipaparkan bagaimana menggunakan paradigma strukturistik dalam memandang tulisan Ravestijn. Selain itu, penjelasan Ravestijn yang seolah terpotong-potong, menunjukkan kemungkinan untuk menjelaskan perubahan dengan paradigma evolusionaris.
Struktur-Agen
Dalam sejarah, suatu perubahan dapat dijelaskan dengan berbagai analisis. Akan tetapi, kompleksnya peristiwa yang menyebabkan perubahan membuat penjelasan tentang perubahan itu tidak akan cukup hanya dianalisis dengan satu dekripsi historis. Ilmu sejarah yang obyek formalnya adalah struktur masyarakat, perlu menggunakan ilmu sosial sebagai alat untuk mengalisis (Siep Stuurman dan Maria Grever, 2007: 310).
Akan tetapi, pendekatan struktural maupun fungsional, seperti termuat dalam tulisan Ravestijn, semata-mata hanya menekankan struktur masyarakat sebagai determinan dari tindakan setiap individu. Oleh karenanya, individu dianggap bukan hal yang penting untuk dipelajari secara khusus sehingga aspek orang atau aktor diabaikan. Sebaliknya, pendekatan hermeutik peranan individu sangat dominan dan masyarakat terabaikan. Menjembatani kedua hal di atas, paradigma strukturistik kiranya dapat difungsikan. Paradigma strukturistik merupakan sebuah paradigma yang bertumpu pada teori strukturasi Anthony Giddens—selanjutnya ditulis Giddens saja. Lebih jauh lagi, menurut Giddens, pendekatan strukturistik tidak semata-mata menekankan pada struktur saja atau individu saja, melainkan interaksi simbiosis antara struktur dan individu serta kegiatan masyarakat yang membentang luas dan berulang-ulang. Dalam pendekatan strukturistik, tambah Giddens, struktur dilihat sebagai perangkat aturan yang terlepas dari individu, tempat, dan waktu. Aturan tersebut terwujud dalam institusi yang tampak dalam tindakan manusia (Giddens dalam Siep Stuurman dan Maria Grever, 2007: 311; PIP Jones, 2009: 240).
Dengan demikian, sejarawan yang menggunakan paradigma strukturistik dalam menjelaskan sejarah (perubahan) menekankan peranan manusia sebagai agensi di dalam proses-proses penyustruktural sosial. Konsep agensi, mengutip Christopher Lloyd dalam The Structures of History, memiliki dua arti. Pertama, kekuatan otonomi relatif sebagai keseluruhan atau sebagian agen perubahan. Kedua, kekuatan orang untuk bertindak atas nama orang lain menurut aturan atau instruksi yang berupaya membawa hasil yang diinginkan (Susanto Zuhdi, 2008: 13; Priyanto Wibowo, 2008: 311). Selanjutnya, bagaimana menerapkan paradigma strukturistik untuk menjelaskan korelasi antara perkembangan teknologi dengan pembentukan pemerintah kolonial Hindia Belanda? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya mengambil dua contoh agen yakni petani dan insinyur. Terkait dengan petani, hal yang bisa dilihat adalah kemampuan para petani memperhitungkan kondisi-kondisi struktural di lingkungannya. Perubahan struktur dari tradisional ke tanam paksa lalu perkebunan diantaranya mendorong para petani untuk bisa memilih tanaman apa yang seharusnya mereka tanam. Dalam konsteks perkebunan tebu dengan sistem glebegan, mereka diharuskan memilih jenis tamanan apa yang semestinya mereka budidayakan sembari menyelingi masa tanam tebu. Lalu, teknologi pengairan pada masa perkebunan sekali lagi juga mendorong mereka untuk menyiasati penggiliran air di lahan mereka yang tidak ditanami tebu. Pilihan-pilihan itu selalu mengandung implikasi struktural.
Sebagai contoh, memilih tanaman padi bisa menimbulkan dampak berantai bagi petani itu sendiri, bagi pamong praja, pemilik perkebunan, dan pemerintah kolonial. Masa tanam padi selama tiga bulan—sama dengan waktu jeda penanaman tebu— kiranya tidak menguntungkan petani. Sebab, besar kemungkinan masa yang dimiliki petani jauh dari tiga bulan. Mereka dihadapkan pada kerja paksa serta membereskan sisa-sisa tanaman tebu.Di lain sisi, mereka juga dihadapkan kuasa pemilik perkebunan yang tidak mau tahu jika waktunya penanaman tebu sudah dimulai. Belum lagi, mereka harus dihadapkan pada penggiliran air yang jauh lebih mengutamakan kepentingan perkebunan tebu. Akibatnya, kiranya sering terjadi, petani harus memetik padinya sebelum waktunya. Kiranya pula, belum semua padi yang mereka budidayakan sehingga besar kemungkinan akan terjadi bencana kelaparan yang menuntut penyelesaian dari pamong praja dan pemerintah kolonial. Di satu sisi, ancaman kelaparan bisa menumbuhkan benih-benih gerakan sosial di kalangan petani yang tentunya mengancam pamong praja, pemerintah kolonial, dan pemilik perkebunan.
Sementara itu, soal keberadaan insinyur pengairan, dengan paradigma strukturistik, kiranya dapat dijelaskan bahwa para insinyur telah memperhitungkan kondisi-kondisi struktural di lingkungannya—dari buruknya sistem pengairan—dan mencoba mencari keuntungan dengan berbagai inovasi yang mereka lakukan. Tentu saja, para insinyur itu sebelumnya tidak memperhitungkan bahwa inovasi-inovasi yang mereka lakukan itu akan menyebabkan penderitaan di kalangan para petani; hal yang kiranya bertentangan dengan tujuan keilmuan yang mereka tekuni. Akan tetapi, perubahan struktur politik, ekonomi, dan sosial yang ada di masyarakat, mengharuskan mereka memilih untuk melakukan pembangunan pengairan. Oleh karenanya, di satu sisi, mereka seringkali harus berhadapan dengan kepentingan pemerintah, pamong praja, serta dihadapkan pada insinyur lainnya, seperti insinyur pertanian. Tidak ketinggalan, mereka dihadapkan pada kepentingan masyarakat. Masyarakat disini memiliki dua arti yakni masyarakat yang diuntungkan dengan modernisasi pengairan serta masyarakat yang dirugikan dengan inovasi yang mereka lakukan.
Dari tiga paragraf di atas, tampak bahwa jika kedua kerangka penjelasan terkait dengan dua agen dalam suatu struktur masyarakat dikembangkan, akan didapat penjelasan sejarah yang menyeluruh. Dengan kata lain, jika masing-masing agen dalam suatu struktur masyarakat dipandang dengan paradigma strukturistik, penjelasan sejarah yang dibuat tidak akan timpang semata-mata hanya menonjolkan satu agen dan mendukung, menaruh curiga, atau menghujat sistem kolonial.

Kerangka Evolusioneris
Penggunaan paradigma evolusioneris untuk menjelaskan sejarah, dalam tulisan ini, berangkat dari dua diksi yang digunakan oleh Ravestijn, yaitu “serangan peradaban” serta “mengontrol air, mengontrol masyarakat”. Sebagaimana yang telah diutarakan di awal tulisan ini, pilihan kata atau frasa yang digunakan oleh Ravestijn memiliki banyak banyak makna. Di satu sisi, seolah menafikkan kepemilikan masyarakat Jawa kan teknologi pengairan adapun di sisi lainnya menyiratkan adanya perubahan sistem teknologi.
Sementara itu, terkait dengan diksi “mengontrol air, mengontrol masyarakat”, tampak jelas bahwa diksi tersebut menyuratkan proses perubahan. Seolah dengan diksi itu, Ravestijn hendak menekankan bahwa perubahan teknologi pengairan akan mengakibatkan perubahan juga di masyarakat, khususnya perubahan budaya.
Dari dua paragraf di atas, tampak jelas bahwa perubahan merupakan poin utama yang hendak dijelaskan oleh Ravestijn. Lebih lanjut, ilmu sejarah memiliki banyak pisau analisis untuk menjelaskan perubahan di masyarakat. Diantaranya, lewat pendekatan strukturistik yang telah diuraikan dalam sub judul sebelumnya. Akan tetapi, karena penekanannya pada soal (ke)budaya(an), dalam tulisan ini saya mencoba mengajukan paradigma evolusionaris yang biasa dipakai para antropolog. Sementara itu, berbicara soal paradigma evolusionaris, kiranya akan merunut evolusi dari subparadigma: evolusi unilinear, evolusi multilenear, evolusi universal, sampai dengan evolusi diferensial (Heddy Shri Ahimsa-Putra, 2009: 27).
Subparadigma evolusi unilenear. Paradigma ini diantaranya dikemukakan oleh E.B. Taylor. Pada prinsipnya, paradigma ini bisa digunakan untuk menjelaskan perkembangan kebudayaan, khususnya sistem teknologi, yang dimiliki oleh masyarakat Jawa. Dengan merunut perkembangan teknologi masyarakat, dalam konteks artikel yang kita bicarakan ialah masyarakat Jawa, dari masa berburu dan meramu sampai dengan masa yang hendak dijadikan pokok bahasan, kita akan memperoleh gambaran perubahan yang menyeluruh, terutama kaitannya dengan kemajuan. Akan tetapi, salah satu kelemahan yang bisa kita lihat dari subparadigma ini ialah keberadaannya yang terlalu menggeneralisasikan pokok permasahan. Ketika memandang masyarakat Jawa dengan subparadigma ini, misalnya kita akan dihadapkan bahwa setiap individu atau kelompok masyarakat Jawa memiliki karakteristik masing-masing.
Subparadigma evolusi multilenear. Dalam penelitian sejarah berikut penjelasannya, penggunaan subparadigma ini kiranya dapat digunakan untuk menjembatani permasalahan data. Dicetuskan oleh J. Steward, subparadigma ini menekankan bahwa pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan selalu berbeda, tergantung lingkungannya masing-masing. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa suatu kebudayaan berada dalam lingkungan dan beradaptasi dengan lingkungan. Adaptasi itu dilakukan melalui inti kebudayaan dan menghasilkan culture core berupa teknoekonomi dan organisasi sosiopolitik.
Lebih lanjut, mengutip Kaplan dan Manners (2002: 64), gagasan Steward dapat dirumuskan menjadi tiga hal yang masing-masing berkaitan erat. Yakni, (1)institusi inti lawan institusi periferal; (2) tipe budaya; serta taraf integrasi sosial-budaya. Institusi inti, kata Steward, berkaitan erat dengan cara suatu beudaya beradaptasi terhadap lingkungan dan mengeksploitasi lingkungan itu. Steward menambahkan, unsur-unsur inti meliputi unsur ideologis, sosiopolotik, dan teknoekonomi.
Sehubungan istilah teknoekonomi, kaplan dan Manners menulis bahwa teknoekononi tidak sama dengan teknologi. Pasalnya, teknoekonomi tidak hanya mengacu pada mesin, alat-alat, dan senjata-senjata suatu budaya melainkan juga cara benda-benda itu diorganisasikan dalam penggunaannya dan bahkan juga pengetahuan ilmiah yang memungkinkan hadirnya benda-benda itu (Kaplan dan Manners, 2002: 127).
Kembali pada tulisan Ravestijn, jika pengairan merupakan bagian dari teknologi dalam sistem kebudayaan maka sesungguhnya dalam menjelaskan perkembangan teknologi pengairan kita pun harus menyinggung soal adaptasi yang terjadi di  masyarakat terkait dengan perkembangan itu. Selain itu, menyoroti aspek teknoekonominya.
Subparadigma evolusi universal. Subparadigma ini secara keseluruhan berkaitan dengan metode pengumpulan data. Tercatat, ada dua pencetus subparadigama ini. Pertama, Leslei White—selanjutnya ditulis  White. Menurut White, perkembangan kebudayaan merupakan perpaduan antara energi dengan teknologi. Asumsinya, (1) energi tidak bisa hilang, hanya beralih atau bertansformasi; (2) setiap kebudayaan memerlukan energi; (3) mengubah sesuatu membutuhkan energi; serta (4) energi bisa dihitung. Oleh karenya, White pun menyatakan rumusan kuantitatif terkait dengan korelasi antara energi dan teknologi dengan perubahan kebudayaan. Lengkapnya, ia menyatakan bahwa budaya mengalami kemajuan seukur dengan tingginya peningkatan besarnya energi yang dikerahkan perkapita pertahun, atau seukur dengan peningkatan efisiensi pemanfaatan energi (E x T    C, dimana E merupakan energi, T adalah efisiensi alat atau teknologi dan C adalah culture atau kebudayaan).
Dalam konteks tulisan Ravestijn, subparadigma ini kiranya selaras dengan pernyataannya, “mengontrol air, mengontrol masyarakat”. Dengan kata lain, melihat konsep yang ditawarkan oleh Ravestijn, tampak jelas bahwa perubahan kebudayaan ditentukan oleh perkembangan teknologi dan pemanfaatkan air sebagai sumber energi.
Selanjutnya, berhubung rumusan yang diajukan oleh White sifatnya kuantitatif, dalam penjelasan terkait dengan suatu tema sejarah, sejarawan kiranya perlu mencermati  kaidah-kaidah dalam penulisan sejarah kuantitatif.
Sementara itu, pencetus kedua subparadigma evolusionaris ialah V. Gordan Childe, subparadigma ini lebih menekankan pada soal komunikasi daripada tahapan evolusi (dari berburu dan meramu; revolusi-revolusi tertentu; revolusi industri; dan revolusi komunikasi). Jika dikorelasikan dengan artikel Ravestijn yang dibicarakan, subparadigma ini akan menunjukkan inovasi-inovasi yang terjadi di masyarakat, pengelompokan masyarakat, pembagian kerja yang kompleks, serta pembagian area pertanian (rural area) dengan area urban.
Subparadigma evolusi diferensial. Subparadigma ini dikemukakan oleh  Corneiro Ia berpendapat bahwa perubahan kebudayaan ditentukan oleh oleh unit kebudayaan. Oleh karenanya, jika menggunakan subparadigma ini dalam menjelaskan suatu tema sejarah, sejarawan hendaknya mengikuti kerja para antropolog yakni menghitung berbagai item masing-masing unsur kebudayaan universal. Untuk bisa menghitung item setiap unsur kebudayaan, kita perlu menggunakan rumusan yang buat oleh R. Linton. Rumusan itu terdiri dari empat tahap yakni culture activities, complexes, traits, dan items (Koentjaraningrat, 1990: 205). Sebagai contoh, saat hendak menghitung jumlah item dalam sistem pengetahuan dan teknologi suatu masyarakat pada tahun tertentu. Langkah pertama yang harus kita lakukan ialah merincinya lagi ke dalam subunsur. Misalnya sub unsur pengetahuan dan teknologi di bidang: pertanian, perburuan, perdagangan, perkebunan, pertambangan, industri jasa, industri manufaktur, dan sebaginya. Selanjutnya, tiap bagian itu mempunyai wujudnya sebagai sistem budaya yang akan kita sebut sebagai adatnya; wujudnya sebagai sistem sosialnnya kita sebut sebagai aktivitas sosialnya; dan wujudnya yang fisik, yang berupa peralatan merupakan benda-benda budaya. Benda-benda budaya inilah yang kita sebut sebagai item. Oleh karena itu, ketika berbicara tentang perkembangan pengetahuan dan teknologi suatu masyarakat pada periode tertentu, kita akan melihatnya dari benda-benda budayanya. Terkait dengan tulisan Ravestijn, bisa saja kita mencacah jumlah pintu air dari keseluruhan bendungan yang ada, sebagai salah satu wujud fisik sistem pengetahuan dan teknologi pengairan.

Kesimpulan
Dari uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penjelasan sejarah menuntut kita—para sejarawan—untuk menggunakan alat bantu dalam analisisnya. alat bantu sejatinya memberikan kemudahan bagi kita untuk merekonstrulsi masa lalu agar lebih ilmiah Tujuannya, supaya tulisan yang dihasilkan tidak kering ataupun hambar. Namun penuh dengan berbagai teori-teori yang dapat dikembangkan  bagi kemajuan ilmu sejarah;bukankah sejarah itu teori ‘ Terkait dengan penjelasan sejarah yang berhubungan dengan perubahan di masyarakat, kita dapat mendekatinya dengan dua paradigma, yakni paradigma strukturistik ataupun paradigma evolusionaris. []



Daftar Pustaka
Wim Reversteijn, 2007 Controling Water, Controling People: Irrigation Engineering and State Formation in the Dutch East Indies, Itinerairo Volume  XXXI.

Bambang Purwanto,2006 Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?! Yogyakarta:
Ombak.
Koentjaraningrat, 1990 Sejarah Teori Antropologi I & II. Jakarta: UI-Press.
Heddy Shri Ahimsa-Putra,1995 & 2009 Paradigma Ilmu Sosial-Budaya: Sebuah
Pandangan. Makalah Kuliah Umum.
Susan Blackburn,2011 Jakarta: Sejarah 400 Tahun. Jakarta: Komunitas Bambu.
David Kaplan & Robert Manners,2002 Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Rudolf Mrazek,2007 Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan
Nasionalisme di Sebuah Koloni, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Siep Stuurman dan Maria Grever 2007    Beyond the Canon : History for the
Twenty-First Century. Palgrave Mc Millon.
R. Moh. Ali 2005    Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia. LKiS : Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar